JANTUNG PEZIARAHAN ALAS PURWO


Oleh: Mathilda Chandra Rini


Gunung Tugu. Gambaran seperti apakah yang terbayang dibenak anda ketika mendengarnya? Sebuah gunung atau bukit yang diatasnya berdiri sebuah tugu? Tugu yang seperti apa? seperti lingga kah? Lingga yang sangat besar? Atau justru suatu menhir?  Tidak banyak yang diceritakan oleh pemangku atau pun tetua ditentang situs yang terkenal sebagai tujuan peziarah-peziarah dari luar Alas Purwo tersebut. Informasi yang pasti hanyalah jarak situs dari desa terakhir di Pulau Jawa. Belum semua umat Hindu di desa ini pernah mengunjunginya.


Gunung Tugu adalah sebuah bukit di dalam kawasan hutan konservasi Taman Nasional Alas Purwo. Penamaannya sendiri disebabkan oleh adanya sebuah bangunan yang disebut warga sebagai tugu dipuncaknya. Untuk mencapai tempat tersebut, medan yang cukup beragam harus ditempuh. Sungai yang kering pada musim kemarau adalah salah satu jalurnya. Keadaan lahan bekas aliran sungai pun tidak sama sepanjang yang dilalui. Ada yang permukaan batunya telah halus menghitam dan ditumbuhi lumut dengan beberapa genangan air di sana-sini, hingga bekas aliran sungai yang sangat sempit dan cukup dalam dengan permukaannya adalah batu karst putih yang tajam dan berlubang-lubang. Bayangkan apa yang terjadi jika anda tergelincir di batu hitam yang pejal dan licin itu, atau terantuk pada bebatuan karst yang runcing mencuat diberbagai sisinya.

Watu Mberik 1
Dok: Mathilda
 
Disepanjang sungai tersebut, akan ditemui 2 Watu Mberik. Mberik sendiri adalah sebutan untuk 2 buah batu karst raksasa yang saling bertabrakan hingga membentuk sebuah lorong. Tempat ini digunakan untuk beristirahat para peziarah, karena perjalanan menuju Gunung Tugu cukup jauh, sekitar 8 jam dengan berjalan santai. Meninggalkan sungai, jalur berikutnya berupa hutan yang kadang ditemui juga rumpunan pohon Jati. Daun-daun kering yang terhampar menutup seluruh tanah menimbulkan irama langkah kaki yang meninggalkan kesan tersendiri. Beragam jenis pohon dapat ditemukan di dalam hutan, diantaranya terdapat pohon-pohon yang sangat besar, hingga celah-celah yang terbentuk pada batangnya dapat didalui seorang manuisa dewasa. Tak jarang pula ditemukan pohon raksaasa yang telah mati, ambruk melintang, menutup jalan setapak yang digunakan para warga, peziarah, atau polisi hutan sebagai akses di hutan ini. Memasuki kawasan hutan bambu, pandangan mata menjadi lebih luas dengan sajian rumpun-rumpun bambu di sana-sini dengan batangnya yang kadang melengkung atau patah dan sisa-sisa batang bambu bekas tebasan parang sebagai jejak para penembus hutan.
Bayangkan rombongan peziarah yang berbondong-bondong melintasi hutan dengan berbagai sesaji yang mereka bawa. Pak Ponidi, warga dari desa Kalipait yang merupakan desa terakhir dan terujung di Pulau Jawa, telah berkali-kali menghantarkan para peziarah menembus hutan tropis yang sangat lebat ini. Satu rombongan bisa terdiri dari puluhan dan pernah suatu waktu mencapai 150an orang terang bliau. Tempat peziarahan di dalam hutan Alas Purwo ini nampaknya merupakan tujuan yang sangat berarti bagi para peziarah yang umumnya justru berasal dari luar Alas Purwo. Khususnya adalah umat Hindu dari Bali.

Gua Trisula
Dok: Vian
 
Tidak seperti Pure Giri Salaka atau Pure wiwitan, peziarahan ke tempat yang lebih terpencil ini lebih bersifat khusus dan (mungkin) personal, walaupun pelaksanaannya melibatkan banyak orang. Peziarahan lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan pribadi baik berupa ujub atau pun syukur. Dana untuk membiayai banyak, mahal dan beragamnya sesaji ditambah dengan biaya perjalanan dan tenaga angkut hingga mencapai puluhan juta. Menurut kepercayaan Hindu Bali, semakin besar upaya dan persembahan yang diusahakan maka akan semakin besar pula berkah yang akan didapat.

 
Gunung Tugu dikenal dengan tiga titik peziarahan, yaitu: Gua Trisula, Gua Putri dan puncak Gunung Tugu. Letak ketiga tempat tersebut secara keseluruhan, mungkin dengan sudut pandang mata elang, akan terlihat seperti trisula dengan masing-masing titik sebagai puncak masing-masing bilah trisula. Gunung Tugu sendiri adalah tujuan utama bagi para peziarah. Puncaknya memiliki dua teras. Struktur bangunan berupa Tugu, berada di teras pertama. Secara sekilas terlihat bahwa struktur ini tersusun dari balok-balok batu. Namun, sebagian dari dinding utaranya ternyata adalah batuan yang berbeda (ditunjukan dengan lingkaran merah). Sekitar satu per tiga dari dinding utara merupakan batu karst utuh yang dipapras. Dipermukaan dinding itu terpahat aksara jawa yang sudah sangat aus. Maksud baik para peziarah untuk membacanya (dengan mengkorek-korek lumut yang telah menghitamkan batu tersebut) justru membuat aksara-aksara tadi semakin sukar dibaca. Konon, mahkota dari perunggu pernah ditemukan di situs ini. Ketika ditemukan kembali oleh paguyuban Sastrohayuningrat, situs ini telah porak poranda. Mereka kemudian membangunnya kembali diatas struktur asli yang tersisa.

Mengenai Goa Trisula dan Gua Puteri, walaupun bentuknya berbeda namun keduanya sama-sama memiliki unsur-unsur peribadatan. Di salah-satu sisi Gua Trisula maupun Gua Puteri didapati payung upacara, sari (kain) dan keranjang dari kayu. Di Gunung Tugu juga didapati hal yang sama. Dua lembar kain dibelitkan pada batang satu pohon apek besar yang tumbuh di teras kedua puncak bukit tersebut. Pertanyaan yang kemudian mungkin muncul dalam benak kita adalah apa guna dari barang-barang tersebut? Alam pikir umat Hindu Jawa-Bali akan dapat terselami lewat barang-barang yang agaknya asing bagi saya atau pembaca sekalian.

Gua Puteri
Dok: Vian
 

Gua Trisula
Dok: Mathilda
 
Umat Hindu di Jawa dan Bali percaya bahwa disetiap tempat, terlebih tempat yang dikeramatkan, terdapat makhluk penjaga. Tempat-tempat tersebut kemudian dijadikan sebagai situs ritual. Ritual itu sendiri dijalankan agar hati peziarah bersih sehingga dapat menjangkau-menyatu dengan Hyang Esa. Maka dari itu, tempat ritual tersebut dibersihakan untuk menghargai-merumat yang telah “beristana” disana. Agar iblis atau roh-roh jahat tidak mengeluarkan amarahnya, maka setelah dibersihkan jika tempat tersebut meiliki batu/sesuatu yang dapat ditutupi dengan kain, diberilah kain dengan maksud memberi busana, agar lebih indah, lebih beradat. Kemudian payung pun diberikan sebagai peneduh, layaknya rumah. Sesaji juga tak lupa disuguhkan sebagai persembahan, tanda berbagi kepada makhluk lain.



Laku seperti itu memang memiliki kesan mistis yang sangat kental. Namun, kita perlu memaknainya lebih dalam dan menangkap pesan yang sebenarnya tentang suatu kearifan. Sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia, kita manusia, sepantasnya memperlakukan sesama layaknya memperlakukan diri sendiri. Kita perlu mencukupi kebutuhan pokok: sandang (busana), pangan (makanan) dan papan (rumah) untuk hidup layak di dunia. Tentu saja kita tidak boleh membiarkan orang lain hidup secara tidak layak, oleh sebab itu kita perlu berbagi kepada sesama yang kurang beruntung. Manusia perlu memuliakan sesamanya untuk dapat memuliakan dirinya sendiri.

Pohon Apek di Gunung Tugu
Dok: Vian
 

Manusia hidup di dunia ini berhubungan tidak hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan alam. Terlebih lagi manusia hidup di alam dan mencukupi kebutuhannya dari alam. Maka dari itu, selain perlu memuliakan sesama, manusia juga perlu memuliakan alam, memperlakukannya dengan layak, menghormati dan merawatnya. Pesan ini tersampaikan melalui cara umat Hindu di Alas Purwo dan para peziarah dalam “memanusiakan” alam.


Comments

Unknown said…
Klarifikasi nama mas, yang benar sastro jendro hayuningrat. Suwun...
Terima kasih yanuar atas koreksinya dan sudah mampir ke blog ini..

Salam
Unknown said…
Sastrojendro hayuningrat pimpinan mbah dan dan padaleman rahayu pimpinan ki joko pitoyo yg rutin berkunjung kesitus gunung tugu bahkan tiap tanggal 17 agustus selalu mengadakan upacara bendera disana

Popular Posts