SITUS KAWITAN : BATU MISTERIUS DI HUTAN TUA
Oleh : Sultan Kurnia A.B
Terletak di tengah hutan Taman Nasional Alas Purwo yang dikenal angker, membuat Situs kawitan tidak begitu dikenal sebagai tinggalan arkeologis. Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1968, situs kawitan belum masuk dalam daftar cagar budaya bahkan informasi mengenainya pun tidak tercatatkan oleh instansi terkait. Padahal melihat bentuk dan ukurannya jelas itu adalah tinggalan arkeologis. Masyarakat sekitar menyakininya sebagai tinggalan masyarakat Majapahit yang lari ke alas purwo setelah diserang demak. Andi Putranto (Dosen Arkeologi Ugm) dengan yakin mengatakan, “99% itu adalah Batu Candi”.
Suatu
sore di tahun 1968, di sekitar
kawasan trianggulasi, salah satu lokasi lahan pertanian di hutan Alas purwo
ditemukan onggokan batu bata “misterius” oleh seorang petani yang mengaku
sebelumnya mendapatkan wangsit/mimpi tentang keberadaan onggokan batu bata tersebut. Dalam mimpinya itu, ia diberitahu
bahwa lokasi onngokan batu itu sebenarnya adalah pintu gerbang menuju sebuah
istana, sehinga tidak boleh ditanami sembarangan.
Dengan
cepat, berita penemuan batu misterius itu diketahui orang banyak. Disebut batu
misterius karena bentuk dan bahannya tidak seperti batu biasa. Melihat
batu-batu tersebut berukuran besar dan datar, sebagian masyarakat lalu
mengambilnya untuk dijadikan tungku
masak dan kebutuhan lainnya. Namun
beberapa waktu berlalu, masyarakat yang mengambil batu tersebut mendadak mengalami
sakit. Menurut Seorang dukun, sakit itu merupakan akibat karena mengambil
batu-batu “misterius”, maka untuk menyembuhkannya masayarakt disuruh untuk
mengembalikan batu-batu tersebut ketempatnya. Masyarakat yang lalu
mengembalikannya mendadak sehat kembali sedangkan masyarakat yang tidak mau
mengembalikan sakitnya semakin parah hingga meninggal dunia.
Setelah
kejadian tersebut, onggokan batu
misterius itu lalu keramatkan dan dijadikan tempat pemujaan oleh masyarakat
sekitar hingga bertahun-tahun kedepan. Kini onggokan batu misterius tersebut
dikenal dengan nama Situs kawitan.
**
Situ
kawitan terletak di dalam kawasan Resort Rowobendo Taman Nasional Alas Purwo,
Banyuwangi, Jawa Timur. Bersama dengan
Pura Luhur Giri Salaka yang berjarak 65 meter sebelah barat, situs kawitan
terdapat di tengah-tengah hutan jati yang lebat. Terdapat akses jalan utama
menuju situs kawitan melalui Pos Resort Rowobendo dengan jarak sekitar 1 sampai
1,5 KM.
Situs
kawitan pertama kali ditemukan dalam keadaan terkubur dalam tanah berupa
onggokan batu “kuno” yang menyerupai gapura. Sebelumnya lokasi penemuan situs kawitan
tersebut menjadi lahan pertanian dan ditanami labu oleh masyarakat sekitar.
Nama kawitan berasal dari bahasa
jawa “kawi” yang berarti “tua” atau awal. Dikatakan tua, karena masyarakat mengkaitkannya dengan
hutan Alas Purwo yang dipercaya sebagai tanah paling awal penciptaannya di Pulau
Jawa.
Situs
kawitan oleh umat hindu di hubungkan dengan Mpu Bharadha, sosok yang menurut legenda
mampu membelah sungai brantas dengan kesaktiannya (Sujatmiko, 2013). Dikatakan,
dalam perjalanannya dari Majapahit ke Pulau Bali, Mpu Bharada pernah tinggal
dan melakukan tapa di hutan alas purwo dan salah satu peninggalannya adalah Situs
Kawitan. Sampai sekarang belum ada
naskah kuno apalagi prasasti yang menceritakan hal seperti itu, sehingga kisah
ini masih sebatas mitos yang berkembang dimasyarakat.
Pada
selanjutnya, karena dipercaya tempat bertapanya Mpu Bharadha, banyak umat Hindu
sekitar Tegaldlimo dan daerah sekitar Banyuwangi, Malang hingga Bali melakukan
peribadatan di Situs kawitan. Bahkan menurut Mbah Gondo, sesepuh Umat Hindu
Tegaldlimo, dulu tidak hanya umat hindu yang melaksanakan peribadatan di Situs
Kawitan, umat Islam dan Kristen pun juga beribadah disana sesuai dengan caranya
masinig-masing. Bagi umat Hindu salah satu ritual keagamaan yang dilakukan di
situs kawitan adalah upacara Pager wesi. Yaitu, sebuah upacara yang memilki
nilai kultural sebagai bentuk penyelamatan ilmu pengetahuan yang telah
diturunkan oleh Para Dewa.
Struktur batuan candi
Di
Situs Kawitan Terdapat tiga kelompok batuan yang ditutupi kain bewarna kuning.
Batuan tersebut tepat berada di didepan pintu masuk dan di titik tengah dinding
keliling yang dibangun kemudian waktu oleh umat Hindu Tegaldlimo. Semua batuan
memiliki bahan andesit yang diperkirakan berjumlah ratusan dan mungkin lebih
banyak lagi, mengingat ketika pertama kali ditemukan banyak masyarakat sekitar yang
mengambil batu-batu tersebut dan dibawa pulang untuk dijadikan tungku serta
kebutuhan lainnya.
“Batu-batu kuno”, penyebutan lain masyarakat terhadap situs kawitan ini diduga
kuat adalah struktur batuan candi.
Bahkan Andi Putranto (Dosen Arekologi UGM) dengan yakin mengatkan, “99% ini merupakan batuan candi”. Interpretasi ini didasarkan pada
analisis bentuk, bahan dan ukuran batu yang menyerupai batu-batu candi pada
umumnya.
Foto 2. Gambar aksonometri dari jenis-jenis teknik pemasangan batu di Candi Sewu
Doc. Jacques. D (2007)
Batu
seperti (foto 1) memiliki lubang purus pada bagian bawah dan atas lapisan. Pada
bangunan candi batu-batu seperti ini biasa terdapat pada bagian bawah bangunan candi. lubang-lubang yang terdapat pada
batu berfungsi sebagai pengunci susunan batuan yang dilengkapi dengan pasak.
Sistem kerjanya adalah lubang purus pada sisi atas satu batu diletakan tepat
berhadapan dengan lubang purus lapisan bawah batu lainnya lalu dipasangi pasak
untuk mengunci kedua lapisan batu tersebut (Dumarcay, 2007). Seperti
yang dijelaskan pada (foto 2)
Batu
seperti (foto 3) banyak terdapat pada bangunan candi terutama di bagian lantai.
Pada lantai candi batu sepert ini
disusun dengan sistem saling menopang dan mengkait antar batu dengan
ukuran dan bentuk yang hampir sama. Seperti yang dijelaskan pada (foto 4).
Batu-batu
lainnya di situs kawitan diantaranya :
**
Dinamakan
“situs” bukan berarti situs kawitan telah ditetapkan menjadi cagar budaya.
Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1968, nama situs kawitan tidak termasuk
dalam daftar Cagar Budaya, bahkan informasi tentangnya pun tidak tercatatkan
oleh instansi terkait. Penelitian terhadap Situs kawitan pun masih sangat
jarang dilakukan.
Menurut
Bapak Adi, salah seorang Pemangku di Pura Luhur Giri Salaka, penelitian
terakhir di Situs Kawitan dilakukan beberapa tahun yang lalu oleh seorang Dosen
Sejarah dari salah satu Universitas di Banyuwangi, namun hingga kini hasil
penelitian itu belum diketahuinya dan dipublikasikan.
Minimnya
penelitian di situs kawitan membuat banyak orang yang berkunjung dan melakukan peribadatan disana tidak
mengetahui situs kawitan sebagai tinggalan arkeologis. Sebuah tinggalan
arkeologis yang sebenarnya menjadi data penting dalam mengungkap sejarah budaya
Alas Purwo masa lalu.
**
Seperti
halnya hutan alas purwo yang penuh misteri, situs kawitan saat ini pun juga masih
penuh misteri. Banyak pertayaan yang belum terjawab setelah kesimpulan saat ini
bahwa situs kawitan adalah struktur batuan candi. Adakah struktur batuan candi lainnya yang masih terkubur disekitarnya? Pada masa kapan dan siapa masyarakat
pendukung situs kawitan? Benarkah situs kawitan merupakan tinggalan masyarakat Majapahit
yang lari ke Alas Purwo? Lalu adakah kaitannya Situs Kawitan dengan lingga yang
ditemukan masyarakat tahun 2001 di
puncak sembulungan dan kini disimpan dalam Pura Purwana Sidhi Tegaldlimo? Penelitian dan kajian selanjutnya yang akan
menjawabnya.
"Tulisan ini telah dimuat dalam majalah Artefak edisi Spesial Desember 2014"
Comments