#DARI MATARAM, SAMALAM DI RANAH MINANG



Memasuki gerbang PT. Kijang lombok Raya NTB, suasana kampung halaman "Ranah Minang" seakan terasa.  Satu set alat musik khas minang: Canang, Gendang,  talempong, suling, bansi dan ditambah piaano tersusun rapi di bagian Teras Kantor,  lengkap dengan sound berukuran besar-yang darinya mengalun indah nada saluang dan bansi yang menggetarkan hati. Disekeliling alat musik telah bersiap para penari dan pemusik berpakain adat khas Minang. Dibagian samping teras, berdiri sebuah pentas berukuran sedang beralaskan karpet biru dan beratapkan tenda biru.  
di dekat pintu gerbang, berdiri dua buah tenda berukuran besar dengan kursi-kursi tersusun rapi-sebgian banyak telah diisi penonton. Diantara penonton yang berbincang, terdengar jelas bahasa minang yang diucapkan. Kami, rombongan Rajo Alam Jambu Lipo oleh dunsanak IKBK, dituntun masuk dari pintu gerbang dan di persilahkan duduk di deretan kursi paling depan, tepat disamping sesepuh dan ketua IKBK.


Setelah tiga hari, 25-28 oktober, mengikuti kegiatan FESTIVAL KERATON DAN MASYARAKAT ADAT se-ASIA TENGGARA yang ditutup tadi sore, malam ini kontingen Kerajaan Jambu Lipo (Sanggar Kalambu Suto) mengisi acara SAMALAM DI RANAH MINANG yang digagas oleh Ikatan Keluarga Bundo Kanduang, sebuah organisisi Perantau Minang di Prov Nusa Tengggara Barat. Sebuah acara malam keakraban, silaturahmi dan hiburan, perantau minang di mataram dan kontingen kerajaan jambu lipo.
 --
Mc membuka acara dengan bahasa Minang yang kental, dilanjutkan dengan penampilan tari pasambahan. Sedikit berbeda di bagian terakhir tari pasamabahan ini, anak daro membawa sirih dicarano dan mempersilahkan Rajo Alam Jambu Lipo, Rajo Indrapura, sesepuh dan Ketua IKBK mangatok sirih dicarano. Prosesi mangatok sirih dicarano ini sekaligus membuka secara resmi acara samalam diranah minang.
Kata sambutan pertama  dipersilahkan kepada  Rajo Godang Firman Bagindo Tan Ameh DYP Rajo Alam Jambu Lipo.  Dalam sambutannya Rajo Alam menyampaikan ucapan rasa syukurnya atas nikmat yang tiada henti-hentinya diberikan Allah SWT khusunya di Mataram ini, dan terima kasih yang sebanyak-banyanya kepada dunsanak IKBK yang telah begitu banyak membantu dan memberi fasilitas kepada kontingen kerajaan Jambu Lipo, hingga sukses dan lancar dalam mengukuti acara Festival keraton dan Masyarakat Adat se asia tenggara di Mataram 25-28 oktober.

Lebih dari itu Rajo Alam menyampaikan rasa bangga dan bahagianya bisa bersilaturahmi dengan dunsanak-dunsanak sakampuang di Mataram.  “walaupun kami dari Sijunjung dan kebetulan di IKBK ndak ado urang Sijunjung nyo, tapi dunsanak IKBK menyambut dan menerima kami dengan senang dan tangan terbuka, sekali lagi kami mengucapakan banyak terimakasih”, Ucap Rajo Alam, lalu menutup sambutannya dengan sebuah pantun.
Acara dilanjutkan dengan penampilan teman-teman sanggar kalambu sto dengan menyanyikan beberapa lagu minang, diantaranya "Cogok mancogok".

Sambutan ke dua yaitu dari Ketua Umum IKBK. Dalam sambutannya bapak ketua juga mengucapkan rasa senang dan terima kasihnya atas kedatangan Kontingen kerajaan Jambu Lipo di Mataram dan  telah ikut mengisi acara  Samalam Di Ranah Minang.  “sebuah acara luar biasa bagi kito, jiko salamo iko kito hanyo bisa mancoliak urang manari piriang, manari pasambahan di kampung dulu waktu pulang kampung, kini di mataram kito lah bisa mancoliak nyo langsung, yo saraso dikampung kito kini", ucap Ketua IKBK dengan bangga dan disambut tepuk tangan penonton.


Acara Samalam DiRanah Minang juga dihadiri oleh Sultan Muhammad Syah, dari Kesultanan Indrapura. Bersama kerajaan Jambu Lipo, kerajaan indrapuara merupakan perwakilan Provinsi Sumatra Barat yang mengikuti Festival keraton dan masayrakat adat seasai tengara di Mataram. Dalam sambutannya, Sultan Indrapura juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dunsanak IKBK yang telah banyak membantu kontingen kerajaan dalam mengikuti acara di mataram dan rasa senangnya bisa bersilaturahmi dengan dunsanak di mataram. Di akhir sambutannya, Sultan Indrapura memberikan cendera mata berupa Lambang Kerajaan Indrapura kepada ketua IKBK dan Rajo Alam Jambu Lipo.

Memasuki tengah malam acara semakin seru. Bahkan Penonton beberapa kali meminta untuk kembali dimainkan saluang dan bansi. Dan bukan tanpa imbalan, dari 3 kali dimainkannya "saluang dangdut" terkumpul uang lebih 3 juta hasil saweran penonton dunsanak-dunsanak sebagai bentuk sumbangannya. Memang demikian, ditengah malam, di tanah rantau dan jauh dari kampung halaman, mendengarkan  saluang dangdut bersama sanak saudara dan dunsanak sakampung adalah hal yang luar biasa. "menggetarkan hati-merindukan kampung"

 Akhirnya penampilan tari galetek harimau menutup acara samalam diranah minang malam itu. Tari galetek harimau yang juga ditampilkan kontingen Kerajaan Jambu lipo pada Festival keraton dan Masyarakat Adat se Asia tengaraa. Dalam synopsisnya tari ini bercerita mengenai hubungan Kerajaan Jambu Lipo dengan Kerajaan Indrapura.

Acara resmi ditutup dan kini mc mempersilahkan acara semi-bebas. Secara bergantian beberapa penari dan pemusik menari dan bernyanyi di atas pentas. Tak mau kalah, aku dan beberapa ibuk-ibuk juga ikut naik ke atas pentas, menari dan bernyanyi. Di deretan tempat duduk paling depan, Rajo Alam Jambu Lipo, Sultan Indrapura, Sesepuh dan Ketua IKBK, berbincang ringan.  Dunsanak lainnya mulai mengumpul kecil, diatas meja bermain kartu, berbincang ringan dan yang lainnya masih setia ditempat duduknya menonton kami yang asik berjoget dan bernyanyi. Malam semakin larut, jarum jam menunjukan lebih 12 malam. Tapi suasana di halaman PT. Kijang lombok Raya itu masih meriah, dengan suasana  persaudaraan.
Dari atas pentas, kami terus bernyanyi bergantian dan menari tanpa gerakan yang jelas, yang penting senang, yang penting bahagia. Kini tidak hanya ibuk-ibuk, bapak –bapak pun sudah berada di panggung, bernyanyi dan menari. Malam itu, lagu demi lagu dilatunkan. Mulai dari Cogok mancogok, Bareh Solok, Lansek Manih, dan yang lainnya hingga ke sebuah lagu yang sangat akrab bagi ku belasan tahun lalu. “Kampung nan jauh dimato”. Lirik pertama ku nyanyikan dengan nada rendah.



Kampuang nan jauh di mato-gunung sansei bakuliliang-den takana jo kawan-kawan lamo sangkek den basuliang-suliang 
panduduknyo an elok nana suko bagotong royong, sakik sanang samo-samo diraso den takana jo kampung.
Semua mengalir begitu adanya, bernyanyi dengan penuh makna, dan tak terasa, ternyata tidak hanya kami di pentas yang menyayikan lagu ini, beberapa dunsanak di panggung penonton juga ikut bernyanyi.  Tangan dan kaki mereka bergerak teratur mengikuti irama musik.


Aku sendiri telah sejak TK mengenal lagu ini, dan entah telah berapa ratus kali menyanyikannya. Namun saat ini, masih dengan lirik yang sama dan musik yang sama, menyanyikannya bersama-sama dunsanak seperantauan di tengah malam kota mataram, tempat yang jauh dari kampung halaman, terasa sangat berbeda sekali. Tubuhku bergetar, bulu kuduk ku seakan berdiri, darah seakan mengalir lebih cepat. Dalam hening ku memejamkan mata di antara euphoria dunsanak yang menari dan bernyanyi, imajinasi ku terbang ribuan kilometer ke pendalaman Pulau Sumatra, membayangkan sebuah kampung dengan pemandangan sawah dan ladang, wajah amak dan keluarga, sanak saudara, teman se-permainan, tapian mandi dan tempat bermain.

Ku coba mendekati seorang ibu tua. Seperti aku, beliau ikut menari dan bernyanyi sebisanya diantara lingkaran para penari dan pemusik sanggar kalambu suto. Masih sambil menari dan menyanyikan lagu kampung nan jauh dimato, satu pertayaan spontan meluncur dari mulutku “dari ma buk ? “ dari solok”,  jawabnya tersenyum.  “alah duo puluh tahun ndak pulang”, sambungnya, sambil sesekali tubuhnya mengikuti gerakan tarian melingkar penari lainnya.
Aku hanya diam, mencoba untuk menyakini "kata 20 tahun tidak pulang" itu. Pantas, beliau sangat memaknai dan menikmati lagu ini. gerakan tarinya  memang tak seindah dan selincah para penari lainnya, suaranya tak sebagus penyanyi sanggar kalambu suto. Namun justru dari setiap gerakan dan suaranya sederhana itu, terlihat ungkapan kerinduannya yang paling dalam pada kampung halaman, keluarga dan sanak saudara.

selama beberapa hari ini, diri ini berusaha untuk memantaskan diri dan bertanggung jawab sebagaiMonti Rajo yang bertugas mendampingi Rajo Alam Jambu Lipo, namun saat ini, dimalam ini, diatas panggung  biru beratapkan tenda biru ini,  saya benar-benar ingin menjadi ‘aku yang saat ini” yaitu seorang anak muda minang yang lama merantau dan kini merindukan kampung halamannya, "Terima kasih tuhan atas segala nikmat-Mu di tanah ini.. Dari mataram “kami” benar-benar merasa samalam di Ranah Minang".

 

Comments

Popular Posts