ORANG SANGIR - BERLAYAR MELAMPAUI BATAS
PUSTEK UGM |
Bagi saya, tidak hanya Orang Sangir yang Belayar Melampaui Batas, tapi juga Natu.
Ia telah berlayar melampaui batas kewajaran seorang mahasiswa wanita (setidaknya dalam standar saya)
Ia telah berlayar melampaui batas kewajaran seorang mahasiswa wanita (setidaknya dalam standar saya)
~~#Catatan atas skripsi Natu. Terima kasih atas kiriman skripsinya
Akhirnya selesai juga SKRIPSI pertama dari salah satu anggota Tim Ekspedisi Sangihe 2017. Judulnya "BERLAYAR MELAMPAUI BATAS: AKSI SELUDUPE OLEH ORANG-ORANG SANGIR DI PERBATASAN INDONESIA-FILIPINA" oleh Natasha Devanand, Mahasiswa Antropologi UGM.
Sebenarnya Natu tidak secara langsung mengambil data Ekspedisi Sangihe untuk skripsinya, tapi seperti yang ia tulis dalam kata pengantar, Ekspedisi Sangihe adalah awal mula ketertarikannya untuk membahas topik skripsinya. Buku Ekspedisi Sangihe
Setahun pasca Ekspedisi Sangihe ternyata Natu memutuskan untuk melakukan Kuliah Kerja Nyata pelatihan Pemberdayaan Masyarakat di Desa Bukide Timur, Kepulauan Sangihe. Di desa ini ia seakan menemukan tempat tinggal keduanya, sehingga tidak lama setelah KKN ia kembali ke Sangihe untuk ketiga kalinya, seorang diri dan biaya sendiri. Angkat topi dengan keberanian dan kesungguhannya.
Dalam skripsinya Natu juga menceritakan kebaikan hati warga setempat, kondisi alam yang indah dengan kehidupan anak-anak di sana yang selalu layak untuk dirindukan. Bahkan ketika kepulangannya ke Yogyakarta pada tahun 2018, ia diberi uang tunai oleh beberapa orang Sangir dengan jumlah sekitar 500.000. Begitulah kayanya hati orang-orang Sangir. Padahal secara ekonomi, saya tahu Natu yang merupakan anak seorang pengusaha jauh lebih berkecukupan dari mereka yang bekerja sebagai nelayan. Hal itulah yang kemudian membuat dirinya merasa bagian dari Desa Bukide Timur, Kepulauan Sangihe.
Semua cerita Natu, hampir sama persis dengan cerita yang saya alami empat tahun lalu di Desa Lapango. Saya mengagumi sekaligus mensyukuri cara orang-orang sangir dalam memperlakukan tamu, khususnya mahasiswa. Mereka yang tidak segan-segan menganggap kami adalah cucu, anak dan saudara kandungnya walau sebenarnya ada banyak perbedaan yang melekat di antara kami; agama, suku, bahasa, adat dan budaya. Saya ingat persis di hari kepulangan saya KKN-PPM 4 tahun lalu, beberapa masyarakat Lapango mengantarkan saya sampai ke pelabuhan dan memberi uang. Om pala memberi batu dengan kandung emas 3 gram (1.2juta), Bu guru menyisipkan uang 100.000 dan ibu-ibu lain memberi saya pakaian lengkap dan baru tidak kurang satu kardus besar. Sekali lagi terima kasih Oma, Opa, Tante, Om pala dan semua masyarakat Sangihe. Om Shofie
![]() |
Natu dan anak-anak Sangir |
Dalam skrisinya Natu membahas tentang aksi masyarakat Sangir khususnya di bagian utara, Nanedekele yang melakukan aksi penyeludupan barang dari Indonesia ke Filipina dan sebaliknya. Menurutnya aksi ini bukan sesuatu yang baru dan terjadi dengan begitu saja, melainkan lahir dari sejarah yang panjang. Masyarakat Sangihe percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari Filipina bagian selatan. Hal itu didukung dengan fakta bahwa jauh sebelum berdiri Negara Indonesia dan Filipina, masyarakat Sangihe telah terbiasa berlayar dan hidup berpindah-pindah digugusan pulau yang kini sebagian masuk ke wilayah Indonesia dan sebagian lagi Filipina. Tentu dulu sebelumnya adanya batas negara aksi tersebut bukan sebuah masalah hanya saat ini saja disebut dengan aksi ilegal. Karena itu dalam skripsinya Natu menyebut aksi masyarakat Sangihe tersebut dengan istilah Berlayar Melampau Batas.
Hingga saat ini, masyarakat di Filipina selatan dan Sangihe Utara masih banyak yang menjalin hubungan kekeluargaan, saling mengunjungi dan bahkan bertukar barang.
Membaca skripsinya Natu, saya selalu setuju gaya menulis dan pemilihan kata yang digunakan selalu menarik. Seperti judul yang ia pilih, Berlayar Melampaui Batas. Tiga kata ini terkesan tidak terlalu ilmiah, enak didengar dan akrab dalam kehidupan kita, dan yang lebih menariknya mampu menggambarkan keseluruhan isi skripsi yang ia tulis.
Bagi saya, tidak hanya Orang Sangir yang Belayar Melampaui Batas, tapi juga Natu. Ia telah berlayar melampaui batas kewajaran seorang wanita (setidaknya dalam standar saya). Ia seorang mahasiswa wanita yang saya kenal cukup pendiam tapi berani untuk berpergian dari Yogyakarta ke Sangihe seorang diri, dan tinggal di sana, daerah perbatasan Indonesia.
Lebih dari itu, sebelumnya Natu juga telah mempresentasikan hasil penelitiannya di Konferensi Internasional bergengsi di Osaka, Jepang April lalu. Pada titik itu, ia juga telah berlayar melampaui batas standar Mahasiswa S1.
Comments