MORE THAN A JOURNEY. (Nomaden ?)

klakson kapal berbunyi  sekencang-kencangnya,  Air laut dibawah mulai bergelombang. akhirnya Setelah lama menunggu,  memasuki jam 9 malam,  kapal mulai bergerak dari sandarannya. melaju pelan meninggalkan pelabuhan Bakauheni,,



Saya pernah membaca maka saya tahu bahwa manusia purba yang “katanya nenek moyang itu” dalam sejarah panjangnya mengalami beberapa fase kehidupan, salah satunya Nomaden, yaitu hidup dengan berpindah-pindah tempat. Homo Sapien adalah salah satu jenis manusia purba yang mengalaminya-yang berlangsung sekitar 200rb tahun yang lalu. 


Satu alasan yang jelas kenapa mereka hidup nomaden adalah pola hidup berburu dan mengumpulkan makanan. Saat itu, cara Mereka mendapatkan makanan hanya dengan  berburu hewan  dan  mengumpulkan sumber makanan lainnya- saat itu mereka hanya menkonsumsi;tidak mampu memproduksi.  Sehingga, ketika di suatu tempat hewan dan sumber makanan lainnya telah habis, maka mereka akan berpindah ke tempat baru yang tersedia sumber makanan lebih banyak. Maka, kehidupan mereka terus berputar seperti itu, berpindah dari tempat lama yang telah habis sumber makanannya ke tempat baru yang masih banyak sumber makanannya.

Saat ini, setelah ratusan ribu tahun berlalu dari zaman manusia purba,  ketika kehidupan manusia di dunia telah berputar dengan sanga cepat, ternyata di beberapa tempat di belahan bumi ini, masih ada golongan-golongan manusia yang hidup nomaden-berpindah-pindah tempat. Dan di negeri yang memiliki banyak masyarakat tradisionalnya ini, ada   Suku Anak Dalam di pendalaman Jambi, Sumatra sebagai contoh.
Saya sendiri belum pernah kesana, namun membacanya dalam banyak laporan, tulisan hingga mendengar langsung dari orang-orang yang pernah masuk dalam kehidupan  Suku Anak Dalam, maka saya tahu bahwa  suku anak dalam hingga saat ini masih hidup nomaden, berpindah-pindah tempat dalam hutan belantara riau. Meninggalkan tempat lama yang telah habis sumber makanan lalu  mencari tempat baru untuk bertahan hidup, meninggalkan tempat lama yang dianggap kotor dan tidak aman lagi  karena adanya saudara mereka yang mati, lalu mencari tempat baru yang dianggap suci dan aman untuk ditempati
Namun belakangan, suku anak dalam hidup nomaden bukan lagi sepenuhnya karena itu, tapi lebih karena tekanan dan ancaman saudaranya-saudaranya dari kota.
belakangan, malangun tidak lagi diperingati sebagai tradisi perpindahan suku karena kematian saudara mereka, tapi upacara untuk kemataian hutan yang makin tergusur oleh buldoser dan alat pengerat kayu. Kayu dan rotan rebah digantikan pohon komoditi karet dan kelapa sawit yang mengharuskan suku anak dalam bergeser, entah ke rimba yang rimba mana lagi”. (Fatris M.F 2013)

----

Sejak dua bulan yang lalu, tepatnya tanggal 10 juli, aku memulai perjalanan panjang;pulang kampung dari Jogja ke Padang-lalu dari padang kembali ke jogja, menjajal selatan-utara Jawa hingga timur-barat-selatan Sumatra, dengan waktu 56 hari lamanya.  Tak terbayangkan sebelumnya, perjalanan pulang kampung ku tahun 2013-akan seperti ini. Jika tahun2 sebelumnya Rute perjalanan hanya  e#Jogja-Jakarta_Padang-Lalu Balik lagi Padang-Jakarta-Jogja. tahun ini, aku hanya ingin ada perjalanan pulang kampung yang berbeda, Jauh lebih menarik dan menantang agar nanti selalu terkenang sampai ku tua-untuk diceritakan ke anak dan cucu. hha.
 Yogyakarta-Bogor-Jakarta
Perjalanan itu berawal dari the lovely city, ya, Yogyakarta. Tanggal 10 juli lalu, aku berangkat dari kota penndidikan itu menuju Bogor, Kota hujan.   setengah hari di bogor, aku kembali ke rutinitas satu tahun yang lalu,-bulan Rhamdan dan setalah lebaran-, membantu  (Tek Jaz) dagang Topi di Taman Topi dekat stasiun kota Bogor. lumayan dapet ongkos ke bandara.
Disini, di kota bogor, aku kembali bertemu si akang dan teteh, orang-orang yang berbicara dengan menekankan nada di akhir kata lalu ada bunyi Huruf "K". Seperti orang jogja di jawa, orang bogor di sunda umumnya termasuk yang paling baik, halus dan ramah.

Malam tanggal 10, beranjak dari Bogor, aku melangkah  ke Jakarta, -bermalam di Bandara SOE-TA-merasakan tidur dan sahur pertama kalinya di Bandara. ini sekaligus pengalaman sahur termahal sepanjang sejarah, mengahbiskan 38rb, denhgan hanya makan nasi dan ayam serba sedikit di salah satu tempat makanan cepat saji made in barat. jelas di bandara sekelas SOE-TA tidak akan ada Burjo yang super hemat, atau Angkringan super murah seperti di jogja.

Jakarta-Batam

Besoknya, tanggal 12 juli, ketika mentari baru menampakan wujudnya di Bandara Internasional Soe-Ta, dari ibu kota negara, aku terbang ke bagian timur sumatra, Batam.

Di batam, Tingal di kota industri itu selama 36 hari, status ku berubah dari tadinya mahasiwa UGM jogja menjadi pedagang kaki 5 di mal aviari dan SP Plaza. Dagang di batam memang tak semudah berdagang di pulau jawa.-ragam manusia dengan sejuta sifatnya- membuat ku syok ketika pertama kali melayani orang Batak. (masa gua, pedagang digalakin , yang ada ma, pedangang yang galak), Jika dulu dagang di Bogor hanya melayani orang sunda sesekali, minang, jawa dan Bule. Di batam jenis pemelinya lengkap, dari Batak, Jawa, Flores, Papua hingga orang Cina yang super itung-itungan. Kehidupan di batam terasa sangat keras. Sopan santun, ramah tamah yang biasa kudapati di jogja, sangat sulit ku temukan di kota yang maju pesat dengan industrinya ini. Suatu malam ketika aku aku membeli dagangannya, seorang pedagang kerak telor, asli orang Jawa, mengatakan pada ku" Mas, Batam ini cuman cocok buat perantau anak-anak muda dan dewasa, bukan untuk orang-orang tua (kakek-nenek), coba liat selama di kota Batam, nemuin kakek-nenek sebagai perantau ng ?? Tannyanya cekikan.   




Meninggalkan Batam dengan segala kenangan tak terbeli bersama sanak saudara, Tanggal 14 agustus, hari ke lima setelah lebaran akhirnya aku pulang kampung, menginjakan kaki di Ranah minang. Sejatinya, ditempat inilah hakekat perjalanan itu ada, kembali ke kampung halaman.

Batam-Padang (lubuk Tarok. Sijunjung, Sawahlunto)


Di Lubuk tarok, Sijunjung Padang-10hari-aku menjalani hidup sebagai seoarang anak minang yang selayaknya berbakti ke orang tua. juga bagiku waktu tak sampai dua minggu itu untuk mencoba memahami, keadaan moral, agama, dan sosial masyarakat yang semakin memburuk. entah kenapa Lubuk tarok yang sejatinya jauh dari pusat kota itu, telah berubah dengan drastis menuju kehidupan "orang kota pinggiran".


PAdang-Riau (Japura_Air Molek)
Setelah menghabiskan waktu liburan di kampung selama 10 hari, saatnya untuk kembali ke joga-kembali kuliah. Namun sebelumnya, dalam perjalanan padang-Jogja, beranjak dari tanah asal, aku melangkah ke Provinsi tetangga, Mengunjungi sanak saudara di Air Molek Riau. berbeda dengan di batam dan Padang, 7 hari di air molek aku menjalani hari-hari sebagai anak yang berbakti kepada paman-sesekali membantunya dagang makanan. Waktu seminggu, cukup membuat ku mengerti dengan kehidupan kota air molek yang sejatinya juga jauh dari pusat kota Riau, namun tetap ramai karena berada di tepi lintas sumatra,
Beranjak dari tanah orang-orang melayu, Tanggal 2 september perjalanan dilanjutkan ke bagian selatan pulau sumatra, setelah melalui lintas timur sumatra, membelah hutan Sumsel, aku tiba di Mesuji, negeri penuh konflik di Provinsi Lampung.
 
Riau-Lampung (mesuji)
Bukan untuk melihat sisa-sisa perang dahsyat yang berlangsung subuh tadi, bukan juga untuk melihat keteganggan kehidupan masyarakat di sekitar perbatasan-dimana polisi dan tentara selalu siap dengan senjata laras panjangnya-dan masyarakat selalu siap dengan tombak, panah dan bambunya, NIAT ku ke mesuji, kabupaten yang baru berumur dua tahun ini adalah untuk bersilaturahmi dengan kakak sepupu yang telah beberapa tahun tidak bertemu. aku memanggilnya bang Hen. sejak beberapa tahun yang lalu dia bertugas di pendalaman mesuji mengabdikan diri ditengah kehidupan masyarakat transmigran jawa yang sangat sederhana namun bersahaja. satu hari di sana, aku seakan berada dalam filmnya Riri Reza, Laskar Pelangi.  sangat sederhana.




Metro Lampung
Beranjak dari mesuji aku melanjutkan 10 jam perjalanan bersama mobil kijang lama, ke kota metro. Tujuannya, ketempat kakak sepupu ku yang satunya lagi, namanya arly. adik dari kakak  sepupu ku di mesuji. Semalam disana, sunguh luar biasa indah. Makan malam di alun-alunnya, metro bagiku tak jauh berbeda dengan kota-kota di jawa. kakak sepupu ku dan temannya berbahasa jawa, kebanyakan orang disana juga berbicara bahasa jawa. ya, inilah sebuah realita kota transmigran  walau sejatinya mereka berada di pulau sumatra.

LAmpung-Yogyakarta

Dua hari di Provinsi lampung, perjalanan ku lanjutkan ke pulau jawa-lalu ke Jogjakarta. Dengan rute perjalanan Metro-Bandar Lampung-Pelabuhan Bakauheni-Pelabuhan Merak-Jakarta-Bogor dan Jogja.  Maka, perjalanan metro-jogja ini adalah adalah bagian  akhir dari perjalanan panjang ku.
Dan malam ini, di saat menulis catatan perjalanan ini, aku hampir menyelesaikan bagian akhir dari perjalanan panjang itu. Di atas kapal Feri berkapasitas ribuan orang, yang sedang menyeberangi selat Sunda, antara Merak dan Bakauheni, antara Sumatra dan Jawa, aku menikmati sisa-sisa perjalanan.

Memasuki tengah malam, kapal melaju dengan kecapatan lambat namun pasti. Di sebelah barat, pelabuhan bakauheni tak menampakan wujudnya lagi, namun di didepan mata semarak lampu pelabuhan merak semakin tampak jelas. Berdiri disamping pagar besi-bagian paling tepi kapal, angin malam di  selat sunda begitu bernafsu menerpa seluruh tubuh ku.  Dalam diam, memandang kapal-kapal kecil nelayan yang berlayar ditengah gelapnya laut selat sunda, fikiran ku terbang kedalam hutan belantara Jambi, tempat hiudp suku anak dalam, dan melesat jauh ke kehidupan manusia purba-homo sapien-ratusan ribu tahun  lalu,. sebuah pertayaan muncul dari otak ku, meluncur ke bawah melewati mulut, namun berhenti di hati lalu berucap  Apakah aku seperti mereka, yang hidup nomaden ? 

Dengan perjalanan 56 hari ini, selalu berpindah-pindah tempat, menyeberangi tiga pulau, tinggal di 9 kota, bersinggungan dengan banyak ragam masyarakat dan budayanya. Lalu apakah berarti aku juga Hidup nomaden ?  
Entalah,,, namun yan pasti jika perjalanan hidup ku ditarik jauh kebelakang maka akan ada catatan perjalanan yang lebih menyakinkan. 

#15 tahun di Padang.  Mulai dari sejak lahir, sekolah di TK, SD, SMP. Dalam jangka waktu 15 tahun ini, juga pernah tinggal satu tahun di sumsel dan Jakarta.
#.3 tahun di Sukabumi, Jawa Barat, sebagai santri Pondok Pesantren Al- Istiqomah. # ½ tahun di pare, sebagai anak Kursusan.
 # dan 1 tahun di Jogja sebagai mahasiswa UGM. lalu ditambah perjalanan ini…….    56 hari, di 3 Pulau, 9 kota,,,,
Pada akhirnya, Aku melakukannya, maka aku tahu. Walau berjarak jauh, dan tidak hidup seperti anak suku dalam di belantara hutan sana, aku layaknya mereka yang hidup nomaden seperti kehidupan homo sapien 200rb tahun lalu, selalu berpindah tempat. Dan aku percaya, bahwa tidak hanya aku-banyak orang diluar sana-baik sadar maupun tidak, mereka juga hidup nomaden. Dan memang sejatinya, dalam hidup manusia selalu dituntut untuk bergerak dan bergerak. 
mungkin bedanya, jika anak dalam dan homo sapien berpindah tempat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya dalam arti yang nyata, untuk mengisi perut yang lapar,  maka saya berpindah tempat sebenarnya juga untuk memenuhi kebutuhan tubuh namun dalam arti yang lain untuk mengisi otak yang lapar.
Ya, Sebagai anak muda minang, pengalaman merantau belasan tahun ini sejatinya adalah untuk mencari ilmu, dan pengalaman hidup sebanyak-banyaknya. Hingga saatnya nanti kembali ke kampung halaman dan membangunnya….

klakson kapal kembali berbunyi sekencang-kencangnya, memecah kesunyian tengah malam yang dingin. dari atas sirene petugas juga berbunyi tak kalah kencang, membangunkan semua orang yang tertidur, memberi tanda kapal akan bersandar. Di seberang, pelabuhan merak telah menanti. Aku, menutup buku kecil ini, menyimpannya dalam tas lalu bersiap untuk kembali masuk ke dalam bis jurusan lampung-jogja;yang terparkir di bagian bawah kapal. 

Selamat tinggal Sumatra, dan selamat berjumpa kembali Jawa.







Comments

Popular Posts