Mesuji : Pesona Dibalik Konflik


 6 September 2013
Mesuji, seakan semua tentangnya adalah duka. Pengeboman, penembakan, dan pembantaian, adalah hasil yang tak pernah diharapkan dari konfilik perebutan hak tanah yang tak kunjung usai... tapi serapuh itukah Mesuji ???


 
Mendekati persimpangan tiga itu, bis melaju pelan, “ayo mas siap-siap turun, bis tidak bisa berhenti disini, bahaya”  kata knek bis sambil membukakan pintu. Penumang seisi bis melihat kearahku. Entah apa yang sedang mereka fikirkan. Mendoakan ku? Atau bertanya2 mengapa aku  turun disini, seorang diri lagi? Aku mengambil semua barang, dua tas besar, dan satu kotak besar. “Ok, siap pak”, jawab ku.  “Sudah menghububungi sodara mu itu”? Tanya supir bis dengan logat batak yang khas. “Jangan lupa setelah turun langsung cari tempat yang aman,  kalau nanti polisi tanya, tunjukan saja KTP kau.. punya kau”?.  “ada pak”. “Nah sekarang kau turun sana, hati-hati”. Aku bersiap, memegang erat tas dan kotak, melangkah dengan setengah melompat, lalu haapp… aku menginjakan kai ditanah tanah merah itu. Dibelakang bis seketika melaju sangat cepat.
---


Setelah melewati perjalanan kurang lebih 20 jam dari Japura, Air Molek, Riau, memembus hutan di lintas timur Sumatra, akhirnya aku menginjakan kaki di Kab. Mesuji, Provinsi Lampung. Adalah keinginan untuk bersiltaruahmi dengan kakak sepupu - yang telah belasan tahun tidak bertemu - membawa ku kedaerah yang penuh gejolak ini.

Masih teringat jelas beberapa tahun belakangan, Perang antar masyarakat-masyarakat dengan Aparat (polisi dan Tentara) sering kali terjadi di Kabupaten yang baru berdiri 2 tahun ini. Beberapa dari perang terus menerus itu, akhirnya berujung dengan pembunuhan, penembakan, dan pembantaian. Semua karena tanah. Perebutan hak tanah antara masyarakat setempat dengan pihak swasta. Di belahan derah lain di Indonesia, tanah juga menjadi sumber masalah, tapi di Mesuji, Prov Lampung, masalah tanah jauh lebih besar dan berbahaya.

Dari sebuah Mushala kecil dipinggir jalan, aku memandangi  keadaan sekililing. hanya ada tanah merah yang berdebu, diatasnya melintas mobil2 besar pengangkut barang, panas, terik matahari terasa sangat panas. Diantara pepohonan singkong berdiri rumah kayu, kecil, sederhana. yang menciutkan hati, puluhan hingga ratusan tentara hilir mudik membawa senjata laras panjang. Wajah-wajah yang penuh kewaspadaan dan curiga. Beberapanya sedang berjaga di Pos polisi militer yang bagian depan tembok dan pintunya tampak hancur. Aku mengambil nafas panjang dan menghembuskannya pelan.. “Ya Allah, Hanya Kepada Mu hamba berlindung”.
 

Seorang perempuan muda dengan dua anaknya duduk didepan pintu Mushala. Sama seperti ku, dia sedang menunggu jemputan. Darinya aku tahu kenapa begitu banyak tentara dan polisi yang berpotroli pagi ini. katanya tadi malam terjadi perang lagi antara masyarakat sekitar dengan aparat, perang itu berakhir dengan pengeboman kantor Polisi dan beberapa oknum masyarakat ditangkap.  Aku jadi teringat perkataan supir bis  tadi malam, kalau bis belum tentu bisa melewati daerah Mesuji karena ada kabar, Masyarakat- kembali bentrok dengan Aparat.  Semua bis yang melintasi lintas timur harus kembali balik arah, jika tidak ingin menjadi korban perang. Dan mungkin itu sebabnya juga, Bis tidak berhenti ketika menurunkan ku  tadi pagi.

Mesuji, seakan semua tentangnya adalah duka. Pengeboman, penembakan, dan pembantaian, adalah hasil yang tak pernah diharapkan dari konfilik perebutan hak tanah yang tak kunjung usai... tapi serapuh itukah Mesuji ???








Bersambung....


Comments

Popular Posts