BADUY DAN KAMPUNG NAGA : SERPIHAN HIKMAH DARI BALIK LAYAR
oleh: Yusti Muslimawati
Ada kisah di setiap langkah. Ada
hikmah di setiap kisah. Dan ini adalah potongan-potongan kisah kami yang
terlanjur terjadi, diluar prediksi. Sedikit keluar dari topik, tapi ini adalah
serpihan hikmah yang ingin kami bagi.
Ketika kata “penelitian” disebut,
mungkin yang terbayang di benak kita adalah serangkaian aktifitas yang ilmiah,
terinci, terencana matang, teoritis, dan hal-hal normatif lainnya. Tapi
kenyataannya, banyak hal tak terduga bisa saja terjadi, yang seringkali
merupakan kesalahan kita sendiri. Nah!
Berikut ini adalah keteledoran-keteledoran konyol yang dilakukan tim penelitian
KMIB selama beberapa minggu.
1. Nonton TV di kereta kelas eksekutif
Poin penting dari
sebuah perjalanan adalah transportasi. Kalau kita hendak pergi menggunakan
kendaraan umum, pastikan dulu harga tiketnya dan pesan jauh-jauh hari. Terutama
saat menjelang hari-hari macet nasional, misalnya, hari-hari selama bulan
ramadhan. Jangan sampai karena kehabisan tiket ekonomi akhirnya harus membeli
tiket kelas ekskutif yang harganya beda tipis dengan tiket pesawat.
Yah,
sebetulnya ini menyindir diri sendiri. Saat saya dan ketua Tim melakukan survey
ke Suku Baduy Banten. Karena kehabisan tiket kereta jurusan Jogja-Jakarta kelas
ekonomi, akhirnya kami langsung ke stasiun Tugu. Masuk ke lobynya, kami saling
melempar senyum dalam diam. Tapi hati kami sebenarnya sedang berdialog. Bagus banget stasiunnya, ga kaya di
Lem*u*angan kataku dalam hati. Lalu kawanku menjawab iya bagus, luas, tenang, nyaman dalam hati juga. Ceritanya kami
adalah dua orang udik yang sedang bertelepatian.
Sebelum berangkat
tadi kami sudah survey harga tiket kereta eksekutif 290 ribu. Sampai di loket
ternyata harganya 320ribu. kami keluarkan semua persediaan uang kami yang
meronta-ronta tak ingin berpisah dengan dompet. Oh! Bukan! Rupanya itu nurani
kami yang meronta-ronta tak ingin melepaskan mereka.
Kami berdua
senyum-senyum lagi, lebih manis dari yang tadi. Tapi kali ini senyum kami
ditujukan untuk mas-mas penjaga loket. “Pak, ATM BNI paling dekat dimana ya”
kata kawan saya. “Saya ambil uang dulu ya Pak, ini teman saya jadi jaminan”,
lalu dia melesat ke pintu keluar. Bagus!
Ni anak minta dijitak! Saya Cuma bisa senyum-senyum sambil mohon-mohon
minta maaf pada Pak Penjaga loket. Padahal dalam hati menyumpah-nyumpah.
Hari H
keberangkatan, kami berjingkrang-jingkang kegirangan macam saat melewati
terowongan stasiun yang menghubungkan loby dengan peron. Inilah saatnya untuk
pertama kali kami berdua naik kereta kelas eksekutif. Penumpang-penumpang lain
terlihat keren. Menarik tas-tas koper dan pakaian rapi klimis. Kontras dengan
kami berdua yang menggendong tas ransel butut sambil menenteng-nenteng tas-tas
kresek hitam macam baru pulang dari pasar.
Setelah duduk.
Kawan saya senyum-senyum lagi. tapi kali ini dia senyum-senyum sendiri. Saya
melongo terpaku menatap satu titik di bangku paling depan dekat pintu. Kereta ini ada TV-nya! Luar biasa.
Selama dalam perjalanan itu saya menonton MR. Bean dan Barbie. Luar biasa!
Tapi kawan saya
lebih luar biasa lagi. pas saya tanya kenapa dia tidak sarapan sebelum
berangkat, dia bilang “Bukannya kalo naik kereta mahal tuh dapet makan siang
ya”. HhmmphHuaaahaaha. Mau ketewa
tapi tak tega. Yang keluar dari mulut saya akhirnya hanya, “Oh gitu ya? Semoga
aja ya..” Jadi, ini adalah kisah dua orang udik yang menonton TV dan kelaparan
di dalam kereta mahal.
2. Momen sedih saat perpisahan
Euforia perjalanan ke tempat-tempat yang beru memang menyenangkan. Tapi
jangan sampai karena terlalu excited,
tujuan utama perjalanan jadi kacau. Apalagi gara-gara ada file penting yang tertinggal.
Ini pengalaman
kami. Ketika tim penelitian berangkat dari titik kumpul menuju stasiun dengan
wajah riang gembira. Diantar oleh kawan-kawan tercinta, penuh suka-cita. Saat
mepet waktu keberangkatan, baru sadar surat ijin penelitian yang harus diantar
ke BAPPEDA Banten tertinggal. Akhirnya salah seorang kawan kami harus kembali
untuk mengambil berkas tersebut. Kawan yang malang itu adalah Ketua SKI kami
sendiri, yang sialnya lagi sedang diuji Allah dengan kondisi badan yang lagi drop.
Saat kembali ke
stasiun, beliau hanya mendapati kereta yang baru saja melaju. Terbayang kan, pemandangan sedihnya saat beliau
melambai-lambaikan tangan pada ekor kereta yang melaju pelan, dengan selembar
surat berharga digenggaman. Matanya yang sayu meredup memandangi siluet kereta
yang semakin kabur. Dia pasrah. Dia bahkan tidak sempat membersamai kepergian
kami. Sedih.
3. Ingat! Tidak ada ATM di Baduy!
Saya tegaskan
lagi, ingat! Tidak ada ATM di Baduy!
Ini cerita ketika
kami survey ke Baduy Banten hanya berdua. kami membawa uang cash pas-pasan. Kami lupa kalau di pelosok Baduy
sana tidak ada ATM. Dan Baduy dikelilingi hutan luas, sepanjang perjalanan
selama 2 jam dari terminal yang tampak hanya hutan dan kebun. Sesekali kami
melewati desa. Tapi boro-boro nemu ATM, indomaret pun jangan harap ada.
Kami menumpang
bermalam di rumah warga. Subuh-subuh kami sudah pamit dan menunggu angkutan
kota pertama menuju ke terminal. Satu jam kami menunggu, sampai bangkit
matahari. Sampai embun habis menguap.
Akhirnya satu
angkot lewat, lalu berhenti ngetem tidak
jauh dari tempat kami menunggu. Ternyata ongkos ke terminal 30 ribu seorang.
Uang di sompet kami tinggal 40ribu bulat. Kawan saya yang asli Tasik
merayu-rayu di Mamang dengan bahasa Sunda. Saya cuma manggut-manggut sambil
bilang “muhun-muhun”. Walaupun tidak paham mereka ini sedang ngobrolin apa.
Masa bodoh lah. Yang penting akhirmya kami bisa sampai ke terminal Jakarta
dengan hampir separo harga.
Tapi cobaan belum
berakhir. Sampai di sana kami masih menaiki Bus menuju Tasikmalaya. Sedangkan
tak sepeser pun rupiah tersisa. ATM juga jauh kata Bapak-Bapak penjaga
terminal. Tapi kami harus segera mencari bus menuju Tasik. Akhirnya kami
mendatangi sopir bus yang akan kami tumpangi. Memasang muka paling memelas,
paling mengenaskan. Lalu memohon pada
sopir Bus untuk menumpang dan minta untuk mampir sebentar di ATM.
Ironis, kami
berangkat dengan kereta eksekutif seharga tiket pesawat, kembali dengan naik
angkutan kota, minta korting pula. Bahkan untuk ke toliet umum terminal pun,
kami menggerayangi isi ransel dan kantong demi dua ribu perak. ini serius.
Tragedi salah baca jadwal
Sebetulnya berat
bagi saya untuk membagi kisah mengharukan ini. Ini adalah kisah paling menyedihkan
yang pernah saya alami dari sekian banyak perjalanan yang pernah saya tempuh.
H-1
pemberangkatan, saya dan ketua Tim dengan semangat membabibuta berbelanja
segala macam amunisi untuk bertahan hidup selama di Baduy Banten dan di Kampung
Naga. Roti, mie, obat-obatan segala merk kami beli. Malamnya kami packing rapi sekali, sesuai dengan
kaedah mengepak barang ala anak pramuka. Kami packing sampai malam.
Besok malamnya,
hari H pemberangkatan. Kami berkumpul di kampus jam 20.00. kereta berangkat jam
sebelas malam. Rencananya sebelum berangkat ke stasiun kami akan berkunjung
dulu di dosen pembimbing kami. karena ada satu orang yang ngaret lama sekali,
saya dan ketua tim keluar sebentar mencari martabak legit untuk oleh-oleh Pak
Dosen terkasih.
Saat perjalanan
kembali ke kampus, kawan saya itu teriak. “HUAAAAAA HUHUHUUU”, Saya nyaris
banting setir saking kagetnya. waktu itu saya pikir dia kesurupan atau apa.
“Keretanya berangkat jam 2 siang tadi. Bukan jam 11 malem ini.”, saya diam.
Bengong. Ya! Dia pasti kesurupan! Saya tidak percaya kami salah jadwal.
“Serius?”. “Iya, jam 11 itu waktu tibanya”. Baiklah.
Saya sebetulnya ingin marah-marah, tapi khawatir dia lompat dari motor dan saya
masuk penjara karena dituduh mencelakai anak orang, akhirnya saya mengambil sikap
sok bijak dan menghibur dia. Setelah itu saya yang lompat dari motor
--Bercanda.
I ingat! Sopir Bus bukan Ridho Roma yang setia menunggu kedatanganmu
Dari banyak hal
yang masuk daftar pengingat adalah ini. Entah kutukan apa yang membuat
masing-masing dari kami pernah hampir tertinggal bus.
Pertama, saat
pemberangkatan. Saya dan Syifa sudah duduk manis di bangku bus Budiman. Kami
sudah pesan tempat untuk 3 orang. Tapi salah seoran kawan kami, Sultan, belum
juga tiba. Parahnya lagi, terminal Giwangan ternyata kedap sinyal. Dia tidak
bisa dihubungi. Lalu mesin bus bergetar. Kami berdua panik. Lalu bus mulai
bergerak. Kami semakin panik. Lalu bus berjalan semakin cepat. Saya sangat
panik sampai ingin lompat. Untuk sebelum lompat betulan saya sempat melihat layar
HP. Ada sinyal! Langsung saya telfon Sultan. Panik. Saya suruh dia lari menuju
pasar giwangan, kebetulan bus berhenti sebentar di dekat situ. Terbayang Sultan
berlari-lari panik menuju bus. Ranselnya bergoyang-goyang, terhentak-hentak.
Jambulnya bergoyang-goyang sampai tak lagi berbentuk Heroik. Tapi
Alhamdulillah, dia bisa menyusul kami.
Kedua, saat makan
siang. Sebenarnya ini mungkin sering terjadi, saat terlalu asik makan sambil
mengobrol sampai tidak sadar bus sudah akan berangkat lagi. Tapi tetap saja,
malunya itu saat kita masuk ke bus dan melewati semua penumpang lain yang
memandangi kami saat lewat. Apalagi tempat duduk kami jauh di belakang. Sungguh
malu.
Ketiga, ini yang
paling konyol dan paling parah. Saat sudah separuh perjalanan menuju Tasikmalaya,
tiba-tiba kawan kami menelpon saya. Dia salah satu personel kami berangkat
sendirian dari kota Tegal. Katanya, saat behenti di SPBU, dia ke toilet,
setelah urusannya selesai, bus yang dia tumpangi sudah tidak ada. Hebatnya
lagi, tas carriernya yang berisi
amunisi untuk bertahan hidup selama beberapa hari ke depan ikut terbawa. Hebat!
Untung daypack yang berisi HP dan
dompet tak pernah lepas dari bahunya. Termasuk saat ke toilet akhirnya dia
menaiki bus dengan merk yang sama, menuju ke pool yang ada di kota Bandung. Padahal saat itu bertepatan dengan
arus mudik lebaran. Dari Tasik ke Bandung bisa memakan waktu 3-5 jam.
Demikian tadi
peristiwa-peristiwa dramatis dan heroik yang sempat kami alami selama masa
penelitian. Semoga teman-teman pembaca tidak pernah mengalami peristiwa
menyedihkan semacam ini. Biar kami sajalah yang pernah mengalaminya, dan
cukuplah ini mejadi pelajaran saja bagi kita semua. (Yusti muslimahwati, 2015)
Comments