SEJAK KASUS MAPALA KEMARIN





Sejak kasus meninggalnya tiga mahasiswa kemarin, di FB sekarang lagi heboh dibahas tentang pola pendidikan MAPALA. Ada yang pro ada yang kontra, tapi ada juga yang lebih bijak, mengambil hikmah dari kejadian itu; tidak menyalahkan sepenuhnya, juga tidak pula mendukung sepenuhnya. Katanya, “keras” itu penting, untuk melatih fisik, mental dan mampu bertahan hidup. Tapi apapun alasannya, “keras” tidak harus membuat nyawa melayang. Dari kata-katanya itu tiga yang saya catat, melatih fisik, mental dan bertahan hidup.



Hari ini saya hanya bersyukur, sejak kecil telah diajar menjadi anak kampung yang kemudian dapat dirinci menjadi anak bukit-anak ladang, anak sungai, anak tebing dan anak pohon (tapi nggak ada anak gunung). Beruntung mengalaminya, sehingga ketika SMA maupun Kuliah tidak ada lagi dorongan yang teramat kuat untuk saya kemudian bergabung dengan MAPALA kalau hanya alasan untuk bisa kuat mental, fisik dan pintar bertahan hidup. Karena dari menjadi anak kampung, sebagian sudah didapat.

Anak ladang dan anak bukit, karena memang sejak kecil telah diajar untuk menanam pohon karet di bukit2 di kaki gunung. Di Bukit2 pedalam hutan Sumatera, yang kemungkinan binatang buasnya, Ular piton, harimau, babi, landak, dll ada setiap saatnya. Pohon karet biasa dibawa dari rumah kemdian dibawa ke atas bukit untuk ditanam. Untuk kemudian pohon karetnya tumbuh subur, harus bolak balik angkut air pake dirigen dari sungai ke atas bukit, itu berkali-kali, bertahun tahun hingga pohon karet tumbuh subur.  Untuk bersedia melakukan ini, yang akan melatih fisik sangat, tidak perlu ancaman dan teriakan dari senior seperti di mapala, cukup kata-kata menyentuh ibu atau ayah, “mau makan atau tidak”? Kalau pohon karetnya tumbuh subur, bisa di sadap, Insya Allah cukup untuk makan dan biaya sekolah mu selama SMP nanti”

Anak Sungai, karena memang sejak kecil berumur (belum genap 10 tahunan) sudah dibiasakan mandi di Sungai yang dalamnya nggak ketulungan dan derasnya cukup buat arum jeram. Untuk melakukan ini sekali lgi tidak perlu paksaan senior, cukup atas nama gengsi saja. Dulu di kampung, jika masih mandi sama ibu di sungai yang cetek, itu malunya di ejekin teman setiap sore, berhari-hari bertahun-tahun sampai bisa mandi di tempat yang dalam.  

Anak Sungai karena memang sejak kecil sudah biasa diajakin bantu orang tua ngambil batu atau pasir di sungai untuk kemudian dijual. Ini dilakukan setelah ngambil air dari sungai ke bukit untuk menanam pohon jaret selesai. Untuk melakukan ini juga hanya perlu sedikit rayuan dari ayah ”hasil nyari batu dan pasir ini bisalah untuk nambah uang jajan ke pasar besok”.

Anak pohon dan Anak tebing, karena memang sejak kecil sudah diajar memanjat. Untuk bisa makan buah, salah satu indikatornya hidup sehat, maka kami harus ngambil ke batangnya. tidak ada mall, atau super market, harus manjat di batang pohon yang ukuran lebar dan tinggi beragam. Dari pohon jambu yang cetek, sampai pohon rambutan yang lumanyan hingga pohon duren yang tidak lumanyan lagi. Bahkan tak jarang untuk bisa makan buah tertentu, mesti manjat tebing dulu habis itu manjat pohonnya.

Itu untuk melatih fisik, lalu apa kegiatan yang menjadi pembelajaran untuk kami melatih mental dan bertahan hidup? MERANTAU, ya setelah proses menjadi anak ladang, anak sungai, anak pohon maka selanjutnya menjadi Anak Rantau.  besok-besok kite cerita,,




#Judul ng nyambung, sengaja biar mau buka, :)

Comments

Popular Posts