MEMBAWA PULANG SANG DATUAK (TAN MALAKA)




 
Tan Malaka (Wikipedia)




https://daerah.sindonews.com/read/1164858/23/pemkab-kediri-tolak-pemulangan-jenazah-tan-malaka-ke-sumbar-1482359284
“Bahwa memang Tan Malaka adalah Tokoh Nasional, tapi melihat kasus ini mestinya juga dari berbagai sudut pandang”
Sebagai seorang Datuk, jenazah Tan Malaka* harusnya sudah berada di kampung halamannya sejak 21 Februari 1942 yang silam, karena demikianlah adat mengatakan,
"di tanah sirah nan tabaliak, patah tumbuh hilang baganti, basuluah mato hari, bagalanggang mato urang banyak"
Dalam adat Minangkabau, seorang Datuk** yang telah meninggal mesti dicarikan penggantinya. Yang patah akan tumbuh, yang hilang mesti diganti. Pergantiannya dilakukan di tanah sirah nan tabaliak, (di tanah pemakaman yang telah digali). Sebelum jenazah Datuk di masukan ke dalam liang lahat, wajib untuk mencari dan menentukan siapa yang akan menyandang gelar Datuk selanjutnya. Tidak boleh ditawar. Tegasnya, sebelum ada keputusan tentang siapa penggantinya dan proses perlihan gelar, maka jenazah sang Datuk tak "diperkenankan", masuk liang lahat.
Tak sampai disitu, proses peralihan gelar Datuk juga basuluah mato hari, bagalanggang mato urang banyak mesti diketahui khalayak ramai, mesti disaksikan seluruh anggota kaum, dihadiri semua kerapatan adat nagari serta yang pasti di hadapan jenazah Sang Datuk.

 
Namun, proses seperti ini tentu akan bisa terjadi jika kondisinya aman dan kondusif, bukan pada 
kondisi darurat penuh perang seperti tahun 1949 yang silam. Proses itu juga tentu akan dapat dilakukan jika Sang Datuk meninggalanya secara wajar seperti karena sakit, bukan karena disiksa dan di tembak mati oleh bangsanya sendiri. Dan tentu juga proses tersebut akan bisa dilakukan jika Sang Datuk akan di kubur di tanah milik kaumnya, dekat Rumah Gadangnya, di lokasi tanah paling tinggi, paling sakral di nagarinya, ya di tanah sirah nan tabaliak; bukan untuk Sang Datuk yang dikubur di suatu sudut ladang, di kaki Gunung di Jawa Timur, yang jauh dari kampung halamannya-Suliki, 50 Kota- yang konon katanya sekarang menjadi ladang singkong dan dekat kandang ternak.

~Maka, jika sekarang Masyarakat Suliki, Kaum Tan Malaka di 50 Kota Sumatera Barat ingin membawa pulang jenazah Sang Datuk ke tanah asalnya, untuk kemudian dilakukan prosesi pergantian gelar adat sebagaimana mestinya. Juga untuk kemudian dimakamkan di tempat paling layak dan terhormat di tanah kaumnya, di tanah pusakanya, ? masih terlalu beratkah bagi Kediri untuk merelakannya? Jika Iya, maka sulitlah kita berkata.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
*Dari banyak sumber dikatakan, Tan Malaka diangkat menjadi Datuk pada umur belasan, seusai menamatkan sekola Raja (kweek School). Tidak lama setelah itu Ia melanjutkan sekolah ke Luar Negeri, merantau ke Belanda. Tentu keputusan berat bagi kaumnya melepas Tan Malaka untuk merantau jauh, mengingat Ia adalah Datuk; sebagaimana tradisi biasanya, seorang Datuk mesti berada di kampung halaman menjalakan tugas sebagai pemimpin Kaum. Namun, bagi Tan Malaka keinginan untuk maju dan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, mengalahkan tradisi lama itu. 
Ada sumber yang menyebutkan, keluarga Tan Malaka adalah tergolong miskin di kampungnya, maka untuk bisa berangkat ke Belanda, Ia harus menjual sebagain harta pusaka dan dibantu uang sumbangan dari seluruh k kerabat kaumnya. Sekali lagi tentu ada harapan besar dari kaumnya, untuk kemudian merelakan Tan Malaka berangkat dan bahkan membiayainya merantau jauh. Mungkin saja harapan agar kelak Tan Malaka tumbuh menjadi Datuk yang berpengetahuan luas sehingga mampu mengayomi dan memajukan kampung halamannya.
Berpuluh tahun berbilang, Tan Malaka hidup di perantauan. Berkat ilmu dan pegalamannya belajar di Belanda-salah satu kota di dunia paling maju pendidikannya saat itu- Tan Malaka kemudian menjelma sebagai seorang pemikir dan tokoh pergerakan. Kiprahnya tidak hanya skala nasional namun juga dunia. Bersama tokoh-tokoh besar lainnya seperti Sutan Sjahrir, Hatta, Agus Salim, Soekarno, semua daya dan kekuatannya dicurahkan dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Jika Hatta dikenal dengan pemikiran sosialisnya, Agus Salim dengan pemikiran Agamisnya, Sjahrir dengan pemikiran sosialis-demokratnya, maka Tan Malaka dikenal dengan jalannya yang radikal, gerakan kiri. Ia yang bergerak antara tampak dan tiada, mengubah dunia tanpa jeda dan kompromi (Goenawan). Tan Malaka tersohor sebagai tokoh komunis tapi juga dikenal sebagai nasionalis dan Islamis .
Namun berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya yang sempat merasakan manisnya kemerdekaan, Soekarno Presiden, Sjahrir Perdana Mentri, Hatta Wakil Preseiden dan Agus Salim Menteri, Tan Malaka masih hidup antara tampak dan tiada. Bahkan akhir hidupnya berkalang duka. Tak lama setelah kemerdekaan, hanya berselang beberapa tahun, Tan Malaka “meninggal” di suatu kebun, di kaki Gunung Wilis, di Jawa Timur. Ia meninggal-jika tidak mau menyebutnya tewas-karena disiksa dan di brendel tembakan oleh bangsanya sendiri (TEMPO).
Sampai pada titik ini, setelah dibesarkan dan diangkat menjadi Datuk oleh kaumnya, dibiayai sekolah ke Luar Negeri dengan menjual harta pusaka kaum, kemudian merantau jauh, menjadi tokoh pergerakan, ketika dirinya sibuk berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan akhirnya menemui ajal di suatu daerah di Jawa timur; tidak tahu apakah kemudian Tan Malaka sempat pulang, setidaknya menyilau kampung halamannya dan mengingat bahwa di Suliki 50 Koto, kaumnya menunggu Ia pulang sebagai seorang Datuk. Bagi Tan Malaka mungkin itu tidak terlalu penting, karena pada makna yang luas, Ia telah menjadi Datuk untuk Bangsa Indonesia. Namun bagi kaumnnya ? 
~Maka, jika sekarang Masyarakat Suliki, Kaum Tan Malaka di 50 Kota Sumatera Barat ingin membawa pulanng jenazah Sang Datuk ke tanah asalnya setelah sekian lama pergi dan tak pernah kembali , untuk kemudian dilakukan prosesi pergantian gelar adat sebagaimana mestinya. Juga untuk kemudian dimakamkan di tempat paling layak dan terhormat di tanah kaumnya, di tanah pusakanya. Masih terlalu beratkah bagi Kediri untuk merelakannya? Jika Ia, maka sulitlah kita berkata. Jauh sebelum Tan Malaka menjadi ruh pergerakan dan pahlawan kemerdekaan bangsa Indonesia, di 50 Kota, Ia adalah Datuk yang menjadi ruh dan simbol kebesaran kaumnya.
**Sebagai Datuk, Tan Malaka memiliki kedudukan yang sangat terhormat dan memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk kaumnnya. 
Datuk adalah didahulukan selangkah ditinggikan seranting, Bak baringin di tangah koto, Ureknyo tampek baselo, Batangnyo tampek basanda, Dahannyo tompek bagantuang, Daunnyo tompek bataduah kahujanan, Tampek balinduang kapanehan, Nan didahulukan sulangkah, Kapai tampek bantanyo, Kapulungtampek barito,

Comments

Popular Posts