(bukan} Melawan Adat


Foto Sultan Kurnia AB.



Sungguh kita tidak bisa melawan alam seisi manusianya. Bahkan sebenar apapun kita dan sesalah apapun mereka. Tugas kita hanyalah menunjukan pada orang bahwa kita telah berpikir, berprinsip dan mempunyai sikap. Adapun hasilnya baik atau buruk, senang atau menyakitkan, itu tidak masalah.. toh begitu banyak perjuangan orang2 besar dulu, orang2 hebat dulu yang sejatinya ia adalah benar, tapi berujung pada kekalahan, berujung pada hasil yang menyakitkan. Berujung dengan ketundukan pada adat itu sendiri.

Pengalaman mereka terdahulu memberikan kita pelajaran, bahwa yang hebat bukanlah yang bisa mengalahkan alam, tapi adalah yang terus berkembang dan mampu menyesuaikan diri dengan alam dan se isi manusianya.

Saya ingat, ketika dulu Buya Hamka begitu getol melawan adat. Hampir separuh hidupnya, Buya Hamka melawan dan berusaha memperbaiki adat Minang yang membelenggu, adat Minang yang tidak adil, dan adat Minang yang sungguh mengalahkan rasionalitas berfikir dan bersikap. Sampai hari Tuanya, Buya Mengkritik adat Minang yang katanya berdasarkan syarak, syarak basandi kitabullah padahal sejatinya jauh panggang dari api.

Hingga Puncak dari perlawanan dan kritik Buya Hamka, dibuatlah buku yang isinya tentang Revolusi Adat Minang. Kata Buya, Adat Minang yang sebagian sudah mati, sudah usang, sudah lapuk, dan berkarat tidak lagi sesuai dengan zaman saat ini. Katanya barang sesuatu yang sudah lapuk oleh hujan dan sudah lokang dek paneh, agar tidak hilang begitu saja baiknya disimpan di museum saja.

Buya Hamka bukan mengkritik adat Minang secara keseluruhan, bukan menentang adat Minang yang menjadi kearifan lokal saat ini, ia hanya mengkritik adat Minang yang katanya tidak lagi sesuai dengan jalan kondisi hidup saat ini. Ia berani berkata demikian, karena ia mengalami sendiri sebagian aturan dan kesepakatan adat begitu membelenggunya, bahkan menyiksa baginya. Maka sangat wajar jika kemudian Buya Hamka mampu membuat novel2 fenomenal yang mengkritik keras adat Minang dan hingga kini terus di kagumi. Itu karena ia menulis atas pengalaman sendiri, yang merasakan sakitnya dipaksa untuk berfikir dan bersikap atas kehendak adat. Itulah Buya Hamka.

Kini saatnya melihat ke depan, sungguh dunia terus berubah, dan sejatinya tidak ada yang kekal dengan perubahan zaman. Sejarah telah memperlihatkan contoh, roda zaman terus berputar, dan kita tidak bisa menghentikannya. Sesuatu yang tidak bisa bergerak mengikuti roda, maka akan ia akan terlindas. 

Bersiaplah, hanya menunggu waktu yang tepat saja.

Mei--Lubuk Tarok, ketika masa-masa sulit

Comments

Popular Posts