Apa Yang Bisa Diperbuat Mahasiswa Arkeologi?
**
Belakangan, ketika sering bergaul dengan
teman-teman teknik, ekonomi, kesehatan, kadang merasa
malu sendiri. Di tengah obrolan anak teknik tentang karyanya yang bermanfaat nyata
untuk pembangunan desa dan kota, gerakan anak ekonomi dalam mengembangkan usaha
masyarakat pesisir, atau kisah anak kesehatan mengobati masyarakat termiskin
dan terpencil di ujung pelosok negeri, saya berfikir apa yang bisa diperbuat
seorang mahasiswa atau lulusan arkeologi?
Dulu kita masih merasa aman, karena katanya
ilmu budaya termasuk arkeologi sangat dibutuhkan ketika orang-orang teknik, kesehatan atau ekonomi
akan mengaplikasikan ilmunya. Ilmu budaya penting untuk memahami kondisi
masyarakat lokal sebelum dilaksanakannya proyek besar terkait ekonomi, kesehatan
atau infrastruktur.
Tapi itu dulu, kini orang teknik, ekonomi, kesehatan juga
telah belajar ilmu budaya, mereka juga telah belajar memahami masyarakat,
bahkan dalam banyak kasus mereka lebih ahli dalam mendekati masyarakat
dibanding mahasiswa kajian budaya sendiri.
Ada pernyataan, katanya arkeologi sebagai
bagian dari ilmu budaya, dalam proses pembangunan bangsa yang besar ini hanya berperan sebagai pondasi, sedangkan
tiang, bangunan dan atapnya adalah ilmu-ilmu seperti teknik, ekonomi, kesehatan
dan sebagainya itu. Bagi saya, dulu mungkin dapat diterima, tapi sekarang? itu tidak lebih dari pembelaan di atas kemalasan
kita berbuat yang lebih praktis. Hari ini kita tidak bisa terus berdiri dan
bersikap acuh di atas pembelaan itu.
Apa yang bisa diperbuat mahasiswa arkeologi
dan itu langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum? Jangan dulu berbicara
terlalu tinggi, ekonomi kreatif atau pariwisata--dua sektor pengembangan yang
dianggap dekat dengan kajian arkeologi selama ini—sepertinya tidak juga, kita
masih banyak berkutat pada teori, konsep di atas kertas, jarang sekali aplikasinya.
**
Pada akhirnya, setelah beberapa kali
bergabung dalam satu acara dengan mahasiswa keilmuwan lain, saya menyadari
salah satu sisa kelebihan mahasiswa arkeologi dibandingkan mereka adalah kemampuan
bercerita dan menulisnya.
Tidak ada cerita yang paling ditunggu oleh
siswa-siswa disekolah dan masyarakat umum di banyak tempat selain kisah tentang
sejarah dan budaya bangsa yang besar ini. Cerita tentang kehidupan masyarakat
terpencil mempuyai kebudayaan unik. Cerita tentang perang di masa lalu, dan
tinggalan-tinggalannya di bawah laut juga di dalam tanah. Atau cerita tentang
bangunan candi, piramid, fosil yang fenomenal dan penuh misteri.
Cerita-cerita
yang di banyak tempat saya menyaksikan menjadi pembelajaran dan inspirasi bagi
masyarakat bawah menengah hingga atas, minimal cerita-cerita itu akan menjadi penghibur
dikala waktu kosongnya.
Maka, atas kondisi seperti itu, seorang
pernah berkata “celaka jika anak arkeologi hari tidak mau bercerita dan menulis,
padahal itu satu-satunya sumbangsih yang jelas dan mudah dilakukan sebagai pertanggungjawabannya
selaku akademisi.
Omong kosong semua petualangan hebat, perjalanan panjang,
penelitian penting, jika itu hanya dinikmatin sendiri. Sungguh tak ada arti
biaya besar yang dikeluarkan terlebih itu dana dari pemerintah yang sejatinya
uang rakyat, jika segala kegiatan anak arkeologi hanya berujung pada upload
foto di medsos lalu caption sok filsuf dan puitis.
**
Terkait menulis, beberapa dosen di kampus juga pernah bilang, mahasiswa arkeologi generasi sekarang jauh menurun produktivitas menulisnya dibandingkan genarasi "mbiyen". Entah apa sebab juga, padahal dengan dunia digital saat ini sebenarnya lebih mudah untuk menulis lalu mempublikasikannya. Melalui Blog, medsos, dan lainnya.
Alhasil, cerita dan kisah tentang dunia arkeologi yang beredar di masyarakat saat ini sebagian besar adalah cerita yang disusun oleh generasi terdahulu, genarasi sekarang minim memproduksi cerita, minim kreatfitas dan kebanyakan hanya copy paste.
Alih-alih menulis, saat ini saya melihat ada kelainan serius pada sebagian teman-teman mahasiswa arkeologi. Sudahlah malas menulis, ketika ada orang lain--baik dari dalam maupun luar arkeologi--menyusun cerita baru tentang suatu kasus terkait dunia arkeologi--seketika mereka membully habis-habisan, mengolok sepuas-puasnya. Mulai dari Kasus Gunung Padang yang dianggap Piramid terbesar, Candi Borobudur tinggalan Sulaiman hingga yang terakhir kasus Gaj Ahmada yang dianggap menyesatkan, sebagian mahasiswa arkeologi lebih banyak meresponnya dengan olok-olokan yang cenderung membully personal dibanding membuat tulisan yang mencerahkan.
~~~~~~~~~~~~~~~
Pada akhirnya, saya teringat perkataan seorang dosen berprestasi di kampus dari Fakultas Teknik, peraih Habibie Award di suatu obrolan santai pernah bilang “kalian teralu asik dengan dunia kalian sendiri, ayolah mulai berubah”
Comments