Ramai - Ramai Nyalon Bupati Sijunjung: Antara Pengabdian, Tahta atau Harta?



Ramai - Ramai Nyalon Bupati Sijunjung: Antara Pengabdian, Tahta atau Harta?
Sultan Kurnia AB  (Mahasiswa Program S2 & S3 / Five - Year Ph.D Hiroshima University Jepang)



MENYONGSONG Pilkada yang kurang enam bulan lagi, situasi perpolitikan di Sijunjung kian menarik untuk diamati. Hingga saat ini, lima pasang calon katanya siap bertarung untuk memimpin ranah Lansek Manih ini. Tapi pertanyaannya, apakah sudah pasti semuanya maju? Jawabannya belum. Baru pasangan H. Wen dan Nasrul yang sudah pasti mendapatkan tiket lewat jalur independen, sisanya masih tanda tanya. Situasinya dalam satu bulan ini cukup dinamis, sebagian calon masih setia dengan pasangannya, tapi sebagian lagi ada yang berganti lalu berpaling. Katanya lobi politik terus berlangsung. Selama belum ada penetapan oleh KPU maka selama itu pula kemungkinan tukar formasi bisa terjadi. Hal yang wajar, karena politik penuh dengan ketidakpastian.  

Bagi saya ketimbang menghabiskan waktu dan energi untuk menerka siapa calon yang akan maju, saya lebih tertarik mengajak masyarakat Sijunjung untuk mempertanyakan, kenapa banyak orang berniat maju sebagai pemimpin di Kabupaten ini? Agar lebih mudah untuk menjawabnya, saya membatasi jawabannya menjadi tiga saja, apakah murni karena Pengabdian, atau lebih ke tahta dan harta? 

Hal ini sangat penting kita ketahui dan telisik lebih dalam, karena ketika mereka telah menjadi pemimpin tapi motivasinya lebih untuk mendapatkan tahta dan harta, maka selama masa jabatannya daerah ini tidak akan maju. Kita hanya akan jalan di tempat dan ditinggalkan oleh daerah-daerah lainnya. Lebih buruk lagi, angka kemiskinan akan semakin bertambah, korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela dan akhirnya kita akan terus menjadi salah satu kabupaten tertinggal di Provinsi Sumatera Barat. Sebelum itu terjadi, mari kita benar-benar memelajari setiap calon yang maju nanti.

Pengabdian 
Sore hari 9 Maret 2020, setelah penerbangan Denpasar - Padang, saya kembali menumpangi mobil “travel” dari Bandara Internasional Minangkabau ke Nagari Lubuk Tarok. Judulnya pulang kampung, setelah enam bulan merantau lagi. Dalam perjalanan ke Lubuk Tarok itu, di atas mobil dengan suasana sendu merindukan kampung halaman, sepanjang jalan lintas saya melihat banyak baliho para tokoh khususnya di wilayah Kabupaten Sijunjung. Sangat mudah diketahui, bahwa mereka adalah orang-orang yang katanya siap maju sebagai kepala daerah. Di baliho itu, mereka berpose dengan berbagai gaya. Ada yang seakan menyapa, mengepalkan tinju ke atas, menggulung lengan baju, dan ada juga yang masih bergaya lama, yaitu mendekatkan kedua telapak tangan ke dada seperti orang menyambut tamu. Melengkapi foto-foto yang gagah itu, juga tertulis berbagai kalimat seperti siap mengabdi dan bekerja menuju Sijunjung yang maju, hebat, beradat, berbudaya, sejahtera, mandiri, kuat dan kata-kata indah lainnya.


Kebetulan, sebelum penerbangan Denpasar-Padang, dalam dua bulan terakhir saya melakukan perjalanan Jepang-Singapura - Jogja - Pare Kediri - Dieng dan beberapa kota di Bali. Seketika saya terhubung antara kata-kata indah di baliho itu dengan pengalaman dua bulan terakhir ini. Dalam hati saya bertanya, Sijunjung yang maju dan hebat seperti apa yang mereka inginkan? Apakah seperti Bali dan Dieng yang maju dengan sektor pertanian dan pariwisatanya? Atau seperti Jogja dan Pare Kediri yang berkembang dari sektor pendidikan dan wisata juga? Atau mungkin seperti Singapura dan Jepang yang maju dengan sektor utama perdagangan dan industri? Seperti yang sering kita lihat selama ini, di baliho-baliho itu mereka jarang sekali menjelaskan bagaimana menuju daerah yang hebat, sejahtera dan maju itu, entah karena kekurangan ruang untuk menulis atau memang belum kefikiran. Yang penting pasang dulu foto gagahnya lalu tulis kata-kata indah. Kata-kata Indah yang hanya muncul sekali lima tahun di baliho, lalu menghilang ketika Pilkada usai.  

Maka dari baliho dan kata-kata itu, saya kemudian membuat kesimpulan sementara bahwa secara tertulis mereka yang ingin maju sebagai bupati dan wakil bupati pasti karena pengabdian. Dan jika pertanyaan di atas diajukan langsung kepada mereka, maka tidak ada keraguan bahwa jawabannya adalah untuk pengabdian juga. Tapi benarkah hanya untuk pegabdian? Agak sulit memang untuk menjawabnya secara lugas, karena niat dan isi hati manusia hanya Allah yang tahu persis. Tapi setidaknya sebagai masyarakat, kita harus bisa menganalisa lalu memilih dengan tepat. Jika salah memilih pemimpin kita sendiri masyarakat yang akan menanggung akibatnya.

VISI-MISI DAN RENCANA PROGRAM
Tentu ada banyak cara dan indikator untuk menilai seorang yang ingin menjadi pemimpin, apakah karena pengabdian atau hanya mendapatkan harta atau tahta. Menurut saya, salah satu caranya adalah dengan menanyakan visi misinya, lebih jauh tanya rencana program utama. Jika mereka menjawab belum punya, atau hanya baru seadanya karena Pilkada masih lama, maka itu bisa jadi tanda pertama niatnya bukan mengabdi. Karena sekali lagi, orang yang benar-benar niat untuk mengabdi itu adalah mereka yang jauh-jauh hari telah mempelajari kondisi Sijunjung, lengkap dengan segala kelemahan dan kekurangannya di semua aspek, seperti skonomi, agama, budaya dan pendidikan. 

Dari pemahaman yang mendalam atas kelemahan dan kekuatan Sijunjung itu, mereka akan mampu merumuskan visi misi dan rencana program yang mesejahterakan rakyatnya. Apalagi jika mereka mampu menjelaskan secara detail bagaimana caranya mencapai keberhasilan recana program, itu tandanya mereka lebih niat untuk mengabdi. Namun, jika saat ditanya mereka gagap untuk menjawab bahkan tidak bisa menjawab dengan detail, lebih baik cari calon yang lain. 


Menurut saya, menjadi bupati dan wakil bupati yang sesunguhnya itu bukan hanya dengan persiapan 6 bulan sebelum Pilkada, tapi harusnya hitungan tahun untuk mempelajari kondisi Sijunjung sebenarnya. Dan itu juga tidak bisa dilakukan dari jarak jauh seperti dari rantau, tapi langsung ke lapangan, masuk ke dalam dinamika kehidupan masyarakatnya secara intens. Rasakan kepedihan hidupnya karena kemiskinan yang mereka alami hingga puluhan tahun. Resapi dan maknai lalu niatkan hati setulus-tulusnya kepada Allah untuk mengatasi itu semua dengan menjadi Bupati.

Meski demikian, bukan berarti juga mereka yang telah belasan atau puluhan tahun bekerja di pemerintahan otomatis dianggap layak, karena sepengalaman saya mengenal pejabat daerah di Indonesia, sebagian mereka juga tidak memahami dengan baik karektersitik, persoalan, kelemahan dan kekuatan daerahnya. Mereka hanya bekerja sebatas menggugurkan kewajiban. Membuat program yang entah bermanfaat atau tidak untuk masyarakat, mereka tidak terlalu peduli. Yang difikirkan hanyalah anggaran habis lalu usulkan lagi. 

Memang ada banyak kriteria ciri pemimpin yang telah kita ketahui. Kriteria-kriteria itu dijelaskan dari berbagai sumber, seperti dari ajaran agama Islam, teori ilmu pengetahuan modern, dari kearifan lokal nusantara, bahkan lebih khusus dalam adat dan budaya Minangkabau juga dijelaskan karakteristik pemimpin yang ideal, yakni harus takah, tageh dan tokoh. Gubernur Irwan Prayitno pernah membahas ini dengan detail di salah satu media cetak lokal. Lebih rinci, menurutnya takah itu adalah performance, postur tubuh yang bagus, rupawan, gagah, penampilan yang menarik dan nampak berwibawa. Tageh, yaitu tegas, berani, kuat, kokoh, berpendirian dan muda. Sedangkan tokoh adalah mempu memberikan keteladanan, dihormati oleh masyarakat dan diakui keilmuannya baik ilmu agama, adat dan akademik.

Namun bagi saya, apalah artinya memiliki semua sifat di atas jika pada akhirnya tidak memiliki niat tulus untuk mengabdi. Banyak orang gagah, berani, muda, dan pintar tapi culas dan korup. Itu hanya akan membawa keburukan pada daerah yang dipimpinnya. Lalu sebenarnya apa pengabdian itu, dan adakah orang yang ingin maju jadi pemimpin daerah dengan niat tulus mengabdi? Untuk pertanyaan pertama, kita bisa merujuk pada KBBI. Pengabdian adalah proses, cara, perbuatan mengabdi atau mengabdikan diri. Dalam berbagai terjemahan lain mengabdi adalah melayani. Artinya, dalam konteks kepala daerah, pemimpin yang benar-benar mengabdi itu adalah mereka yang melayani masyarakatnya. Yang memahami kebutuhan masyarakatnya, lalu berusaha memenuhinya. Pemimpin yang mengabdi adalah mereka yang menggunakan seluruh daya dan tenaga untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya.  Pemimpin yang tidak sulit dihubungi atau ditemui masyarakatnya, lebih dari itu pemimpin yang benar-benar dekat dengan rakyatnya, secara fisik dan emosional. Pemimpin yang mengabdi itu adalah mereka yang juga menghindarkan diri dari hal buruk seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Tidak serakah pada jabatan, tidak terpengaruh kepentingan keluarga dan kelompoknya. Kata Agus Salim, pemimpin itu menderita bukan penuh kemewahan.

Ada contoh bagus dari Kabupaten Batang, Jawa Tengah, yakni seorang Bupati teladan yang memutuskan untuk tidak mencalonkan dirinya lagi pada periode kedua, padahal peluangnya untuk menang sangat besar. Dapat dipastikan jika ia maju maka akan terpilih lagi. Lalu apa alasannya tidak maju? Katanya takut tidak amanah karena godaannya besar sekali. Ia mengatakan, dalam perjalanan karirnya, menjadi bupati adalah pekerjaan paling berat. Ia lebih memilih terjun ke medan perang lagi sebagai prajurit dari pada menjabat sebagai bupati. Katanya, pertanggungjawabannya maha berat, kepada Allah dan rakyatnya, di dunia dan di akhirat. 



Jadi mulai kini, sebaiknya kita mulai menggali informasi apakah calon yang ada sudah memiliki visi misi dan rencana program yang terukur lalu paling penting dipahaminya secara mendalam. Artinya, itu semua bukan hasil contekan atau dibuatkan 100% oleh tim suksesnya. Namun, jika sudah memiliki itu semua pun, apakah dapat dijamin mereka memiliki niat pengabdian? Sepenuhnya tentu belum, karena kembali lagi hanya mereka dan Allah yang tahu secara pasti. Tapi untuk mengetahuinya lebih dalam kita juga perlu mempelajari riwayat hidup para calon, apa saja kegiatan, pekerjaan yang pernah dilakukan, lalu cocokkan apakah memiliki unsur-unsur pengabdian seperti di atas. Mari belajar menjadi pemilih cerdas, agak berat memang, tapi ini untuk kemajuan bersama.

Tahta dan Harta
Hipotesis saya, seseorang yang menyatakan siap menjadi pemimpin namun dalam hitungan lima bulan belum memiliki visi misi dan rencana program yang bagus dan terukur , dapat dikatakan mereka ingin maju lebih karena niat tahta dan harta. Apalagi jika dalam pembicaraan baik dengan masyarakat atau media, secara sadar maupun tidak yang lebih sering terucap oleh mereka adalah BA 1 K atau orang nomor 1, maka semakin kuat dugaan niatnya lebih ke tahta dan harta. Lalu jika memang karena harta, memang berapa sih total pendapatan seorang bupati dan wakil bupati di kabupaten Sijunjung? Saya menduga tidak banyak masyarakat yang tahu persis jumlah pendapatan bupati dan wakilnya. Pada tulisan selanjutnya, saya akan membahas orang yang ingin menjadi Bupati dan Wakil Bupati lebih karena tahta dan harta. 

Sebagai bocoran, Mendagri Tito Karnavian dalam sebuah wawancara dengan media pernah mengatakan bahwa modal untuk menjadi kepala daerah tingkat Kabupaten itu rata-rata 30 Milyar. Lalu berapa pendapatan sebenarnya setelah terpilih? tentu mereka yang terpilih tidak ingin rugi donk. Lalu ada juga mereka yang sudah bekerja sebagai ASN bahkan termasuk pejabat tinggi, anggota dewan, namun rela mundur untuk menjadi Bupati, kenapa? Bukannya sama-sama bisa mengabdi? Banyak yang mengatakan karena ingin mengabdi di tempat yang lebih besar lagi. Benarkah? Apakah ada kaitannya dengan tahta?

Bersambung....

Comments

Popular Posts