Ramai-Ramai Kepala Dinas Biayai Calon Bupati: Masihkah itu Pengabdian?
Ramai-Ramai Kepala Dinas Biayai Calon Bupati: Masihkah itu Pengabdian?
Oleh: Sultan Kurnia A.B
(Mahasiswa Program s2& s3 / Five - Year Ph.D HiroshimaUniversity, Jepang)
Hari ini saya membaca sebuah hasil survei KPK yang di grup WA. Survei itu terkait pejabat daerah (ASN) yang ikut membiayai kampanye calon kepala daerah (Bupati dan Gubernur). Bagi saya, isu ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, kita semua mengetahuinya dari diskusi terbatas, hingga gosip dan obralan di lapau. Namun, ada yang mengagetkan dari hasil survei itu. Peran ASN dalam membiayai calon Bupati maupun Gubernur ternyata sangat banyak dan masif.
Pada tahun 2018 contohnya, disebutkan dalam survei itu, ASN ikut membiayai hingga 82% dari total biaya calon kepala daerah dalam
kontestasi PILKADA. Angka yang sangat tinggi. Itu artinya, hanya 18% sang calon mengeluarkan uang pribadinya. Itupun masih bisa kurang jika ada sponsor lain, dari swasta minsalnya.
Dari hasil survei ini, saya sadar telah keliru, bahwa selama ini hanya memperikarakan peran ASN dalam pembiayaan pencalonan bosnya dibawah angka 20%, padahal nyatanya mencapai 82%, itu 4 kali lipatnya, menn.. Jadi makin terang,, bahwa mereka yang ikut "wajib nyumbang" itu tidak hanya kepala dinas dan kepala badan, tapi juga bisa level lebih rendah seperti sektretaris dinas, kepala bidang, kepala seksi, camat, dan sekretaris camat. Bahkan di BMUD juga. Pokoknya semua lah, mereka yang pernah mendapatkan jabatan dan naik pangkat oleh karena politik balas jasa sang petahana. Loh kok petahana?
Ya, berdasarkan survei KPK itu, sang petahana lah yang memiliki kuasa dan kesempatan besar bermain dalam praktik ini. Sang petahana biasanya akan melakukan mutasi besar-besaran ketika akan menghadapi PILKADA. Mengangkat orang-orang tertentu ke pangkat lebih tinggi, atau memindahkan ke jabatan yang lebih nyaman atau gaji lebih besar dan beragam modus lainnya. Sebagai imbalannya, mereka dituntut untuk membantu sang petahana agar menang lagi di PILKADA, secara materi dan non materi. Bahkan yang lebih mengerikan, dalam cara seperti ini, saya pikir bahwa ASN itu cukup mengeluarkan uang pribadinya, tapi ternyata ASN yang memiliki kekuasaan lebih, seperti kepala dinas atau kepala badan, juga bisa memobilisasi dana pembangunan (daerah) untuk kepentingan kampanye calon yang disukai. Itu hasil survei KPK juga.
Bagaimana kalau petahana tidak maju lagi, minsalnya sudah menjabat dua periode? Apakah praktek seperti ini tetap akan terjadi?
masih mungkin bisa terjadi, karena kita tahu bahwa politik dinasti tumbuh subur di negeri ini. Banyak kasusnya, jika sang bupati atau gubernur tidak dapat maju lagi, maka istri, anak, adik, cucu, atau ponakannya yang akan maju.
Begitulah, jika sudah masuk ke politik dinasti, jangan berharap akan bisa lepas dengan mudah darinya. Teorinya, mereka yang sudah lama duduk dikursi kekuasan, cenderung akan terus berusaha mempertahankannya, apapun caranya. Lalu apa motivasinya? Bagi saya, yang pasti bukan lagi karena pengabdian. Yakin itu.
~~~
“Praktik-praktik seperti ini tentu akan semakin menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Di mana kita tahu, bahwa KKN adalah beberapa faktor yang membuat sebuah daerah, negara dan rakyatnya selalu terbelakang, miskin dan susah hidupnya. Di sisi lain, para elit baik di level nasional maupun daerah bergelimang harta, kekayaan dari jabatan-jabatan penting yang dudukinya. Jika sudah kejadian seorang Bupati, Wali Kota, Gubernur melakukan praktik ini, maka ia tidak hanya menggunakan jabatannya sendiri untuk memperkaya diri dan menyusahkan rakyatnya, tapi juga menggunakan ratusan jabatan kepala dinas, kepala badan, camat, dan lainnya. Mari sadar kembali. Jabatan itu, harusnya menjadi jalan tercepat kita menuju Surga-Nya bukan menuju Neraka-Nya. jabatan itu adalah jalan untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya, bukan berbuat zalim sebanyak-banyaknya.”
Belajar dari Masyarakat Sangihe
Mungkin ada yang berargumen, praktik ini kan sebenarnya jamak terjadi di Indonesia. Sudah hal yang umum lah. Ya, saya pun menyadari itu. Apalagi biaya PILKADA mahal sekali, tidak mungkin hanya munggunakan dana pribadi. Jikapun memiliki uang banyak untuk biaya Pilkada, antara modal dan pendapatan sebagai kepala daerah nantinya tentu tidak akan seimbang. Akan besar pasak dari pada tiang. Di sisi lain, sang petahana memiliki kuasa untuk mengatur dan bermain dalam praktik ini, jadi tentu bukan hal yang mudah untuk menahan diri agar tidak memainkan praktik ini.
Lalu pertanyaannya, selain mendapatkan dana kampanye dari iuran (wajib) ASN, adakah cara lain oleh sang petahana untuk membiayai kampanyenya? Secara ilmu politik dan pemerintahan saya tidak terlalu memahaminya. Karena latar belakang pendidikan selama ini lebih banyak di bidang budaya, sejarah dan pariwisata. Tapi sejuah ini, ada yang bilang sebaiknya negara lah yang membiayai kampanye calon peserta PILPRES, PILEG maupun PILKADA. Tentu dengan regulasi yang jelas dan adil. Harapannya, praktek-praktek KKN terhindarkan seminim mungkin. Tapi, seberapa banyak sih uang yang dimiliki oleh negara? Memang ada dan cukup uangnya?
Pasti akan ada banyak perdebatan nantinya tentang ini. Sedangkan untuk bikin jalan, jembatan, sekolah, urusan perut dan bantuan bencana saja kurang anggarannya, bagaimana mungkin untuk membiayai kontestan PILKADA, PILPRES dan PILEG? Bagi saya, biarlah itu jadi pembahasan para elit negeri ini di level nasional. Semoga mereka menemukan rumusan terbaiknya.
Adapun daku, sebagai mahasiswa yang selama ini fokus belajar pada bidang sejarah dan kebudayaan, kiranya dapat bercerita tentang salah satu contoh bentuk kampanye PILKADA yang ideal. Yakni, kampanye PILKADA di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Sebuah daerah kepulauan nan jauh di ujung negeri, perbatasan Indonesia dan Filipina, di bibir Samudera Pasifik.
~~
Mei 2017, kami menggagas kegiatan bertajuk Ekspedisi Sangihe.
Ekspedisi yang didukung oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman dan kekementerian Kelautan-Perikanan ini, pada awalnya hanya hanya fokus meneliti tinggalan arkeologi baik di darat maupun di bawah laut. Namun, pada kenyataannya di lapangan, kami juga membahas situasi politik dan demokrasi masyarakat di sana. Karena begitu menariknya cara kampanye PILKADA di sana, pada ekspedisi ini kami tidak hanya menenggelamkan diri ke bawah laut untuk mencari kapal karam masa Perang Dunia 2, tapi juga menceburkan diri dalam pesta demokrasi Masyarakat Sangihe.
Lalu apa menariknya?
Di Sangihe pada saat itu, hampir semua biaya kampanye calon Bupati terpilih dibiayai oleh masyarakat. Caranya, masyarakat dalam satu kecamatan kadang satu desa, membuat pesta sekaligus kampanye akbar untuk sang calon pemimpin. Semua kebutuhan dan biayanya ditanggung bersama-sama oleh masyarakat. Ada yang iuran makanan, ada yang iuran sewa tenda, ada juga yang iuran membuatkan baliho dan langsung memasangkannya. Tanpa ada honor dan hadiah apapun dari sang calon. Bandingkan dengan daerah lain, masyarakat malah dikasih honor oleh sang calon hanya untuk memasang sebuah baliho di pinggir jalan. Bagi masyarakat Sangihe, kedatangan sang calon pemimpin sudah sangat cukup.
Kondisinya benar-benar terbalik 180% dari kasus kebanyakan di daerah lain. Di Sangihe, sang calon bupati yang harus ekstra memenuhi undangan masyarakat ke desa-desa. Ia cukup menyediakan waktu dan transportasi ke lokasi, sisanya seperti acara dan fasilitas kampanye, masyarakat yang sediakan. Bahkan menurut salah seorang tokoh masyarakat di Desa lapango, calon Bupati juga diberi oleh-oleh/bingkisan/bekal berupa makanan dan produk setempat. Tidak ketinggalan, lagu-lagu kampanye juga langsung diciptakan, diproduksi dan disebarluaskan oleh masyarakat sendiri. Sekali lagi, itu semua tanpa ada imbalan apapun.
Bagi saya, ini adalah bentuk kampanye yang ideal, di mana masyarakat Sangihe bergotong royong membiayainya. Bagi masyarakat Sangihe itu bukan hal yang memberatkan, karena mereka melakukannya dengan penuh sukarela. Selain karena ingin ada perubahan di Kabupaten Sangihe dengan cara memenangkan calon bupatinya, masyarakat di sana juga sering mengadakan pesta. Kumpul-kumpul, menyanyi, dan berjoget sudah menjadi kehidupan sehari-hari masyarakat Sangihe. Jadi kampanye dan pesta sudah menjadi satu. Mereka biasa melakukannya dipinggir pantai, suasananya semakin seru dan asik dengan suara deburan ombak dan hembusan angin laut.
Lalu apakah cara kampanye dengan prinsip dibiayai oleh masyarakat juga ada ditempat lain? Menurut saya bisa saja ada, mungkin ditempat-tempat terpencil lainnya, yang selama ini minim publikasi media nasional. Dan apakah prinsip seperti ini bisa diterapkan di daerah lain? Bagi saya, meskipun kondisi sosial budaya setiap daerah berbeda-beda dari Sabang hingga Merauke, tapi setidaknya itu dapat menjadi referensi dan pengetahuan bersama sehingga kedepan ada motivasi untuk memodifikasi dan melakukannya di daerah lain. Amin.. Semoga.
Sumber:
https://amp.kompas.com/nasional/read/2020/08/06/06320331/kpk-banyak-asn-tak-netral-dan-ikut-mobilisasi-pendanaan-kandidat-pilkada
https://m.detik.com/news/berita/d-5121209/kpk-ungkap-sponsor-tak-ada-makan-siang-gratis-di-balik-pendanaan-pilkada
Comments