SANGIHE I KAKANDAGE : CERITA DIBALIK KKN-PPM UGM 2015 SANGIHE SULAWESI UTARA (Bagian 1)



Didalam peta Indonesia, Kepulauan Sangihe yang terdapat di ujung utara hanya ditandai dengan sebuah titik kecil yang tak lebih besar dari tanda titik itu sendiri ".". Bagi orang yang belum begitu  mengenal Sangihe, mungkin akan berfikiran tidak ada yang penting dan istimewa di daerah kepulauan yang juga berstatus sebagai daerah terluar ini. Namun bagi Saya yang pernah hidup 50 hari di pulau-pulau yang elok itu, Kepulauan Sangihe adalah salah satu aset yang maha penting bagi negeri yang besar ini. 

Sangihe adalah Beranda Negeri di ujung utara Indonesia yang berbatasan langsung dengan Filipina. Dengan status tersebut Ia memiliki peranan penting dalam menjaga wilayah dan kedaulatan  NKRI. Sangihe yang terletak di jalur pelayaran Internasional, sejak berabad-abad yang silam merupakan pintu masuk kapal-kapal asing menuju Nusantara dan Asia Pasifik. Bahkan karena keindahan alam dan keunikan budaya masyarakat bahari, tak jarang kapal-kapal asing-asing tersebut singgah dan beristirahat di pulau-pulau kecil Sangihe. Bukti-buktinya dapat kita temui dengan mudah. Sebut saja di Bebelang, salah satu pulau kecil nan menawan di Manganitu Selatan, menyimpan tinggalan arkeologis mulai dari keramik dan makam-makam kuno, hingga tengkorak dan tulang menulang di perbukitan. Dan jika waktu ditarik lebih jauh kebelakang maka pada masa prasejarah kepulauan Sangihe bersama Talaud diduga menjadi "jembatan" bagi manusia dalam migrasinya ke Nusantara. hal ini tidak berlebihan jika kita mengacu kepada teori "Out Of Taiwan".



Kini, dalam konteks pembangunan berbangsa dan bernegara, Sangihe memiliki potensi sekaligus peranan penting dalam mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Alamnya yang mempesona baik didarat maupun dilaut serta keunikan kebudayaan maritim masyarakat setempat adalah potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi  kawasan wisata bahari. Didukung oleh lokasi yang strategis di jalur pelayaran internasional yang berbatasan langsung dengan filipna, tidak berlebihan jika negara ini optimis akan mengambil keuntungan besar dalam masa Masyarakat Ekonomi ASEAN ini. Masa dimana pasar global telah menunggu, pergerakan manusia tanpa batas negara, termasuk kegiatan manusia dalam sektor pariwisata. Tidak hanya itu, Sangihe juga merupakan salah satu daerah penghasil ikan terbanyak di Negeri ini, penghasil kelapa, coklat, cengkeh dan rempah-rempah lainnya yang berkwalitas unggulan.
Pada akhirnya, suatu kebangaan tanpa batas bagi saya yang pernah hidup 50 hari di Sangihe. Menginjakan kaki dipulau-pulaunya, menyelami lautnya, merasakan panas cuacanya, menikmati ikan bakar khas dengan sambalado dabu-dabu serta belajar banyak dari masyarakatnya. Sama seperti kata-kata di malam perpisahan itu, "suatu saat nanti semoga Tuhan kembali memberikan saya kesempatan untuk kembali kesini".

Sangihe I Kakandage Sareng Papateku
Sidutu Makaluase Dalungu Naungku
Maning pia dadedala limembong Bantuge
Takere Soang Sangihe, Maning Kurang damene

Soang kinari diangku, Sangihe. Soang kinari diangku, Sangihe,
sane ene ene naungku, taku tatehendungan, 
soang kinari a diangku.

--------------------------------------------------------------------------------------------------

Siap-siap berangkat dari Pelabuhan Manado

Waktu itu langit masih gelap, tidak banyak bintang yang terlihat. Jarum jam ditangan menunjukan pukul 04.00 subuh waktu Indonesia Bagian Tengah (WITA). Dari atas Kapal Feri Marina yang sedang berlayar di laut Sulawesi, dikejauhan sana terlihat samar daratan dengan semarak lampu kekuningan. Perlahan kapal semakin mendekati cahaya tersebut. Sekitar 20 menit kemudian terdengar suara awak kapal yang mengumumkan, kita sudah sampai di Tahuna (Sangihe),  sebentar lagi kapal akan merapat di pelabuhan Tahuna. 
Saya yang masih sedikit linglung, berjalan kebagian tepi kapal, mencoba untuk memastikan.  Alhamdulillah, ucapku syukur. Kapal benar2 telah merapat. Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan akhirnya kami sampai juga di Pelabuhan Tahuna Kepulauan Sangihe. Sebelumnya kami TIM KKN UGM 2015 berjumlah 29 orang melakukan perjalanan darat Jogjakarta-Surabaya (9 Jam), perjalanan udara  Surabaya-Manado  (3 jam) dan perjalanan laut Manado-Tahuna (10 jam).
Kini kapal benar-benar telah merapat, semua penumpang yang perkiraan ku tak kurang berjumlah 500 orang, awalnya mulai turun secara bergantian, namun  karena naiknya porter keadaan menjadi tidak beraturan, mereka kemudian masuk dan keluar serobotan. Dari paras muka dan logat bicaranya, semua bisa menduga sebagian besar mereka adalah orang timur. Sejurus kemudian bersamaan dengan orangnya macam-macam barangpun mulai diturunkan ; kasur, sayur-mayur, mesin perahu dengan segala peralatannya, hingga mainan anak-anak. Untuk mempercepat kerja dan mengindari macet di pintu keluar kapal, sebagian barang-barang tersebut langsung dilempar dari atas kapal kemudian disambut oleh yang lain dipinggir pelabuhan. Tak ayal ini membuat saya terdiam sejenak. 'Edann",, barang segitu banyak maen lempar aja dari atas kapal. Belum selesai terpesonanya kami melihat adegan-adegan tersebut dari pinggiran pelabuhan, Pak Yosi, Dosen pembimbing KKN kami yang lebih duluan sampai di Tahuna berteriak. ā€œayo, sebagian tetap diatas kapal, lempar barang-barang kalian dan sebagian turun kebawah untuk menyambutnya. Apa?  Haruskah hal itu juga kami lakukan. TIDAKKKK!!. 

Tidak menunggu lama maksudnya, ā€œSiap Pakā€. Dari pada harus ikut serobotan di pintu keluar, tidak salah jika kami juga melakukannya. Mas Ikbal, Tile, dan Singgih tetap di kapal bersiap untuk melempar satu per satu barang bawaan Tim, mulai dari kardus berisikan buku, sikat gigi, biji tanaman dan pupuk (sebagai oleh2 kami dari pulau jawa untuk masyarakat sangihe), hingga tas daypack, carrier dan koper super gede. Saya baru sadar ternyata tidak hanya anak cewek yang barang bawaannya banyak, anak cowokpun tak kalah banyak bawa barang-barangnya. Ini yang bikin saya tidak habis fikir, kenapa cowok juga harus begitu banyak bawa barang, bahkan lebih banyak dari anak-anak cewek. Apessnya dengan kondisi seperti itu Saya bersama Ridho, Fuad dan Aufar dapat jatah menyambut barang-barang tersebut dipinggir pelabuhan. Satu koper  punya Pina sebesar kulkas pendinginan ikan diturunkan, dua koper punya Putri segede tong penyimpanan ikan juga  diturunkan lalu secara membabi buta puluhan daypack, carrier dan kardus melayang dari atas kapal. 

Dalam hati saya cuma bergumam ā€œbegitu kerasnya hidup di timurā€. Singgih seorang teman dari Fakultas Teknik hanya bisa senyam senyum khasnya dari atas kapal, sesekali ia berkata sambil tertawa ā€œawas bos, beratā€.   Kalian tahu seperti apa senyum khasnya singgih, Wulan bilang ā€œsenyum mesumā€. Menggelikan.

Kota Tahuna dari Puncak
Doc : Indopic.com
 

Doc. Benyaminlakitan.com
Subuh itu, pelabuhan tahuna sudah sangat ramai. Orang-orang berseliweran hilir mudik. Becak mobil dan motorpun ikut membaur.  Kami selesai memindahkan barang-barang dari kapal ke mobil pick up mulai meninggalkan pelabuhan tahuna menuju tempat penginapan. Kesan pertama menginjakan kaki di Sanghihe memang sangat melelahkan. Perjalanan darat udara dan laut  selama dua hari  kemudian kerja rodi memindahkan barang2 super gede dari atas kapal. Namun pagi itu sangihe juga menawarkan pesona tiada tara. Pagi itu terlalu indah, kawan. Kota tahuna memiliki bentuk seperti leter U mengikuti bentuk Teluk Tahuna. Tersusun dari bangunan-bangunan tua khas kolonial. Meskipun terbilang kecil, Kota tahuna menurut saya  sangat bersih dan teratur. Belakangan saya tahu apa sebabnya, ternyata PEMKAB Sangihe mempuyai program sabtu bersih. Siapa saja yang membuang sampah sembarangan akan ditindak tegas. Dikenakan denda dan hukuman lainnya. Dipinggiran kota disepanjang garis pantai berjejer perahu-perahu masyarakat mulai dari yang masih tradisional (layar dan dayung) hingga yang sedikit modern (mesin). Dan sebagai daraeh kepulauan sangihe dianugerahi pemandangan laut dan pulau-pulau kecil yang mempesona. Teluk tahuna begitu tenang, tenang  seakan tanpa ombak. Mobil terus melaju membelah kota Tahuna. Jalanan kota lebih banyak beloknya daripada lurusnya. Maklum Cuma kota kecil. Sesekali dari atas mobil kami melewati nelayan di jalanan yang pulang melaut sambil menenteng ikan-ikanya.  Mungkin karena barang bawaan kami yang super banyak dan wajah-wajah yang baru, warga dipinggiran jalan banyak yang tersenyum memandang miris. Dan Saya masih bernasip apess, kebagian tugas menjaga barang-barang di mobil pick up. Tapi itu tak apa, dari atas pick up bagian belakang saya menikmati suasana pagi yang indah dikota ini.

 PENYAMBUTAN
Doc. Indoplaces.com
 Kantor Bupati Kepulauan Sangihe cukup menarik. Arsitekturnya unik, sulit untuk menjelaskannya jenis arsitektur apa yang  seperti itu. Bangunannya bertingkat-tingkat dengan bagian atapnya berbentuk segitiga dengan dominasi warna merah. Sekilas tampak seperti rumah adat melayu tapi juga terlihat seperti khas rumah jawa karena atap tumpangnya. Tapi yang pasti ini mungkin bentuk arsitektur tradisional Sangihe. Mengelupasnya cat di bagian dinding dan rusaknya atap dibeberapa titiknya menandakan bangunan ini cukup lama belum direnovasi. Tapi itu tidak masalah, bagi saya mahasiswa arkeologi itu lebih baik, semakin tua dan kuno bangunannya semakin tinggi juga dia punya nilai.

Pagi itu, tanggal 9 juli pukul 08.00 WITA kami berkumpul di Kantor Bupati untuk mengikuti acara penyambutan. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe yang diwakili oleh SEKDA, menyampaikan rasa bangga dan senang akan kehadiran kami disini untuk melakukan kuliah kerja nyata. Pemerintah daerah berharap kami bisa membantu mengembangkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat disini. Pak Yosi dalam sambutannya kemudian menyampaikan bahwa tujuan kami sebenarnya memang demikian. Dengan menerjunkan mahasiswa kelapangan, diharapkan kami bisa mempraktekan ilmu-ilmu yang selama ini dipelajari di kampus dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat serta mencarikan solusi yang tepat.  Tujuan utamanya adalah pembimbingan dan transfer ilmu kepada masyarakat sangihe khsusnya manganitu selatan sehingga kedepannya masyarakat mampu mengatasi permasalahannnya sendiri dan mengembangkan daerahnya. Maka untuk itu dalam KKN tahun ini, kami mengambil tema besar yaitu Pemberdayaan Masyarakat Pulau Perbatasan Melalui Pengembangan Sumber Daya Alam dan Peningkatan Kualitas Peningkatan Pendidikan Kecamatan Manganitu Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe,  Sulawesi Utara. Dari awal saya menyadari jelas ini suatu harapan atau bisa disebut misi yang cukup berat untuk dilakukan dalam waktu dua bulan. Sehingga kemudian di hari terakhir kegiatan KKN sebelum pulang ke jogja, saya meyadari belum banyak  yang dapat kami lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan MANGSEL.

20 Hari di Bawuniang.
Setelah acara penyambutan dan (foto-foto bersama yang kemudian masuk koran lokal, bangganya hha) kami berjumlah 29 orang lanngsung ditempatkan di lokasi KKN sesungguhnya, di Kecamatan Manganitu Selatan tepatnya di Desa Lapango Induk (7 orang), Laine (8 orang), Bebalang (7 orang) dan Batunderang (Orang). Perjalanan dari kota Tahuna Ke Mangsel menghabiskan waktu 3 jam menggunakan BIS PEMDA tentunya. Jalanan penuh kelokakan, turunan, tebing dan jurang curam. Bagaimana tidak, alam Sangihe secara umum hanya dibagi dua yaitu pesisir dan perbukitan.  Namun sekali lagi, seperti kata pepatah dibalik kesulitan itu selalu ada keindahan. YAH, saya semakin mengakui pemandangan alam sangihe tiada duanya. Pantai, tanjung, teluk. Pulau-pulau kecil ditengah laut memanjakan mata. Sangat2 berbeda dengan pantai yang pernah saya lihat di Padang, Batam, Lampung, Jogja, Bali dan Lombok. Disini pemandangan pesisir sangihe bisa dikatakan belum tersentuh industri pariwisata. Sepanjang perjalanan sangat jarang terlihat kegiatan turis lokal apalagi asing, yang ada hanyalah kegiatan nelayan yang menangkap ikan dilaut dan masyarakat  sekitar yang sekedar bersantai di pinggir pantai. 

Sekitar Pukul 16.30 kami sampai di lapango Induk, Desa Lokasi KKN saya bersama Tile, Fadli, Pina, Sari, Kuni dan Ghali. Lima orang teman sehidup semati  untuk dua bulan kedepan (lebay). Sebuah TIM yang menurut saya memiliki dinamika paling kompleks dan rumit.. hahah Sehingga hari hari kedepannya beberapa kali kami harus rapat evaluasi yang dihiasi canda tawa, tangis hingga sedikit marah. Bila mengenangnya, saya sendiri cukup terharu dan sedikit menyesal. Menyesal karena kenapa kami harus melakukan kesahalan-kesalahan bodoh (walaupun sebenarnya tidak salah) sehingga membuat tim kurang solid. Harusnya dengan pengalaman merantau dan hidup diberbagai tempat selama ini membuat saya lebih cerdas dalam melihat kondisi tim. Hari ini saya mengakui, dua bulan KKN saya mungkin yang paling berhasil untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat Lapango, tapi saya juga mengakui, orang yang kurang berhasil menyesuaikan diri dengan teman-teman di TIM Lapango. Dan adapun kesalahan-kesalahan yang kami perbuat selama KKN di Lapngo biarlah kami  simpan baik2 dalam ingatan masing2, tidak perlu diceritakan cukup menjadi pelajaran bagi semaunya. Tapi dibalik sedikit kesalahan2 itu, sebenarnya kami lebih banyak berbuat baik dan baik (pencitraan).
Mengingatnya kembali juga membuat saya terharu. Terharu karena bisa mengenal dan belajar banyak dari mereka semua. Dari Tile, Pina dan sari saya belajar bagaimana untuk menjaga sikap dan sifat tidak semua orang dapat diperlakukan sama. Dari Fadli dan Kuni saya belajar bersikap tenang, dan tentunya rajin Sholat (haha) dan dari Gali saya belajarr... belajar apa yaaa.. saya fikir tidak ada yang dapat dipejari dari gali.... bentar—bentar.. hmmmm oh ya belajar   ngeles..  hahaha. Gali si Raja Ngeles,,,   .. nggak, tapi ada satu yang saya ambil pelajaran berharga dari Gali, nanti pada halaman yang tepat saya akan menceritakannya.

Berbeda dengan TIM lain yang telah ditempatkan pada lokasi KKN masing-masing kami TIM Lapango Induk 20 hari pertama harus tinggal dulu di Bawuniang alias apango 1. Ada banyak pertimbangan yang tidak dapat diceritakan disini sehingga Bapak Camat menempatkan kami di Bawuniang pada 20 hari pertama. Bawuniang dan Lapango Induk merupakan uda desa yang bersebelahan. Jarak dari tempat penginapan kami sekitar 3 km. Lapango Induk sendiri merupakan pusat ibu kota Kecamatan Mangsel. Disitu terdapat berbagai fasilitas umum seperti pasar, dermaga, dan perkantoran. Dan Bawuniang merupakan desa hasil pemekaran dari lapango induk. Disini terdapat Kantor camat Mangsel. Kami disediakan penginapan langsung di rumah dinas Bapak Camatnya. Sebelumnya di Kota Tahuna kemarin kami juga disediakan rumah Dinas SEKDA untuk menginap.. keren lah luar biasa penyambutan Pemerintah Sangihe.

20 hari pertama di bawuniang yang berjarak 3 km dari lapango induk membuat program kami tidak berjalan dengan lancar. Jarak tempuh yang lumanyan jauh jalan kaki-bolak balik bawuniang-lapango induk tentu bukan hal yang mudah dilakukan pada saat Bulan Rahamadan. Disaat TIM lain di Laine, Bebalang dan Batunderang telah berdapatasi dan menjalankan program2nya dengan baik bersama masyarakatnya, kami disini masih berjalan setengah-setengah. Hanya pada waktu pagi sampai siang kami bisa mengajar di Sekolah Lapango Induk dan magrib sampai malam kami dapat bersosialisasi dengan masyarakatnya. selebihnya waktu hanya kami habiskan di rumah dinas Pak Camat yang terletak terpencil dari rumah warga. Hari-hari di penginapan hanya di isi dengan tidur, nonton film, maen uno, maen takraw dengan pemuda bawuniang. Sesekali ketika hari-hari cerah kami melakukan survei mengenai keadaan desa.  Saya survei tinggalan budaya dan sejarah, fadli, gali, sari potensi bencana, tile mengenai kehidupan sosial masyarakat, pina mengenai kesehatan dan kuni mengenai pertanian dan perkebunan masyarakat.

Salah satu saat-saat indah yang dilewati ketika hidup gerilya seperti ini adalah suasana berbuka puasa dan sahur bersama. Beruntung di Tim  terdapat teman yang bernama Pina. Seorang 'kristiani' yang dengan baik hatinya mau memasakan kami ketika sahur dan buka puasa. Ini satu pelajaran hebat lagi ketika di KKN, toleran dan multikulturalisme. Di Tim ini, Pina memang bukan satu-satunya yang bisa memasak. Hampir semua kami berenam bisa memasak, tapi yang bisa memasak sekaligus enak banget ya cuma Pina. Kami apalagi cowok masak telur, air dan nasi ok lah, tapi kalau sudah pake bumbu-bumbu,  silahkan, ladies first. Haha.. pada keadaan ini saya merasa gagal menjadi orang minang, ngga bisa masak. Payah... 

Beberapa kali kami juga diundang berbuka puasa oleh umat muslim di lapango Induk. Ya, masyarakat Sangihe umumnya beragama kristen, bisa dikatakan 90% dan di lapango induk sendiri hampir 98% kristen dan sisianya muslim. Jika dihitung sekitar 50 orang umat islam disini. Di Laine 2 orang, di bebelang dan batunderang semua kristen. Tapi, demikian tidak membuat kami merasa berbeda. Disini kerukunan umat beragama sepertinya telah terjalin dalam masa yang telah lama. Setiap kali berbuka puasa dengan umat muslim di lapango induk, ibu kepala desa dan masyarakat lain yang beragama kristen juga ikut memberi kami makanan. Tidak lupa mereka juga menitipkan makanan untuk nanti bekal sahur. Suasana ini menjadi sangat terkenang. Jiaka selama ini terbiasa hidup sebagai mayoritas kini di sangihe saya yang muslim hidup sebagai miinoritas. Sehabis berbuka puasa bisanya kami juga melanjutkan sholat tarawih di mushala. Entah sebagai penghormatan atau apa, jamaah disini seringkali menuunjuk fadli ketua TIM kami untuk menjadi imam.

Siang malam selama bulan puasa di 20 hari pertama KKN hanya brejalan seperti itu. Pagi sampai siang survei dan ngajar disekolah, sore istirahat malam berbuka dan shalat tarwih jamaah. Bola-balik lapango induk-bawuniang kami melewati jalan sepanjang pinggir pantai dan hutan bakau. Jika siang pemandangan laut dan angiin darat yang menemani jika malam suara jangkrik, babi dan anjing yang mengiringi.  

Dah ,, ntar sambung lagi...

masih banyak kisah yang akan diceritakan, tentang Oma dan Opa yang dagangannya mie cap kalang kami habiskan, tentang Opla, wawu, tante elen, dan semuannya, tentang kegiatan tambang emas yang menggiurkan  tapi juga mematikan, tentang tradisi kubur batu yang masih terjaga dan tentang menjaring ikan (basoma) bersama om shofie, menjemput subuh untuk kemudian melaju dan barayun-ayun di perahunya di antara gelombang ombak. suatu kali saya nyaris muntah akibat tingginya gelombang (sekitar 5 meter), dan Om Shofie sengaja mematikan mesin perahunya. Makahya jadilah gelombang setinggi itu mengaduk-aduk perahu, saya dan perut kosong. sedangkan Om Sofienya?, ia membuka baju dan menyebur kedalam laut yang tak terkira dalam dan kuatnnya arus.. "tenang saja disini, saya mau gabung sama mereka menjaring ikan (sambil menunjuk ke teman2nya yang telah duluan nyebur)". Dari rumah tujua kami cuma satu, akan bersama-sama menyelam dan menjaring ikan, saya begitu percaya diri karena setahun yang lalu di jogja telah mengantongi sertifikasi menyelam A1. Tapi,,,,,, pagi itu tidak seindah yang dibayangkan, saya hanya bisa meringkuk didalam perahu dibagian mesin...  menengadah pun tak kuat,,,,,, payah...
Om Shofie Memanah Ikan. edann nafasnyaaa..

Comments

Popular Posts