KETIKA OM SHOFIE MENYEKA AIR MATANYA

 “Pada titik ini, saya menyadari, kebersamaan akan baru sangat terasa apabila waktu pernah memisahkan kita untuk beberapa lama”.  

#KKN_PPM UGM UNIT SANGIHE 2015 
#UGM MARITIME CULTURE EXPEDITION 2017




MANADO, 26 April 2017.
~~~~~~~~~
04.00 WITA, Tepatnya selesai shalat subuh, sebuah SMS masuk dari Om Shofie.“Sultan, di mana sekarang? jam berapa tiba Sangihe?

Tidak menunggu lama saya langsung membalasnya,Maaf Om, baru memberi kabar, Sultan baru sampai di Manado, nanti jam 07.45 sampai di Sangihe, naik pesawat”. Sms terkirim.

Satu menit kemudian,
telpon masuk dari Om Shofie.
“halo,, sultan ke mana saja, om telpon dari kemarin tidak diangkat-angkat, sms tidak dibalas-balas”.
“maaf Om,,,,,,,,,, belum sempat saya melanjutkannya,, Om shofie langsung menjawab 
“sudah, jadi jam 07.45 sampai di Sangihe to? nanti om jemput”
“wah om mau jemput, tidak usah repot-repot, sultan nanti dijemput sama anggota tim yang di Kota Tahuna”. 
“Sudah tidak apa, om jemput naik motor, jangan takut”. Balas Om Shofie dan panggilan langsung mati.
“Ampunn dehh”. Begini kebiasan om shofie dari dulu suka mematikan panggilan seenaknya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Subuh itu, 26 April 2017, ketika Om Shofie menelpon, Saya sedang berada di Manado, tepatnya di Rumah Pak Joko, Alumni Arkeologi UGM yang sekaligus kepala TU Balai Arkeologi Manado. Dalam Ekspedisi Sangihe ini, kami bersyukur sekali banyak dibantu Pak Joko dan Balar Manado. Yang paling merepotkan beliau adalah mengantar jemput tiga kloter tim ekspedisi dari Bandara Sam Ratulangi transit di Kantornya lalu diantar ke Pelabuhan Manado. Satu hari yang lalu sudah berangkat kloter pertama, dan subuh ini saya adalah kloter ke dua sedang transit di rumah Pak Joko. Semoga Allah membalas semua kebaikan Pak Joko. Aminn


Setelah menerima telpon dari Om Shofie, saya masih “mager” di kasur. Selain karena terlalu capek abis perjalanan kemarin Jogja-Semarang-Jakarta-Manado,  Saya masih teringat Om Shofie, ngapain maksa buat jemput jauh-jauh padahal ada anggota tim dari Kota Tahuna untuk menjemput, hanya 30 menit-an. 

Dan lagian Om Shofie Bilang jangan takut. Siapa juga yang takut? Saya tak pernah takut,  ke Sangihe naik pesawat gini, 45 menit sudah sampai. Bukan naik kapal yang belasan jam. Tiba di sanapun nanti juga sudah siang terang. Ngapain takut

Yang saya takutkan malah Om shofie-nya, subuh buta menjemput ke bandara. Tak terbayang perjalanannnya dari dari Pulau Bebalang naik perahu ke Lapango, 30-45 menit. Kemudian lanjut naik motor menempuh jalanan Pulau Sangihe yang tak berbentuk. Tidak hanya jalan tanah dan kerikil, jalan sangihe juga penuh  belokan tajam, jurang dan pendakian mematikan. 

Om Shofie  berangkat dari sebuah pulau kecil di bagian selatan Sangihe menuju bandara Naha di bagian ujung utara Pulau Sangihe. Dalam google map saya melihat jaraknya hampir sama  Bandung - Jakarta. Bedanya Om shofie ditambah naik perahu menyeberangi laut.

Belum lagi di tengah jalan melewati desa Laine. Itu adalah desa gudangnya buaya muara. Menemukan buaya di pinggir jalan atau berjemur di jembatan, sudah hal biasa di desa itu. Bagi saya ini paling menggerikan. Yang tak habis fikir lagi, Om shofie mau menjemput naik motor. Saya ingat Om Shofie hanya punya satu motor, merek smash yang sejak ia beli tahun 2010, tidak lebih dari 3 kali pernah di service dan dicucinya?   

 Jujur, di satu sisi saya khwatir, tapi di sisi lain saya juga menikmatinya  :) Tentu ini akan menjadi cerita yang tak kan terlupakan.

Pagi itu saya berangkat ke Bandaro Manado kembali diantar Pak Joko, untuk terbang ke Sangihe Pesawat Wings Air pukul 07.00 WITA. Di perjalanan ke Bandara saya berfikir liar tentang Om shofie. Pertanyaan-pertanyaan kemudian muncul, Apakah ia baik-baik saja? jenis buaya apa yang dilihat di desa Laine subuh ini? dan berapa kecepatan naik motornya? bisakah ia tiba di bandara tepat waktu? Untuk pertanyaan terakhir saya bisa sedikit memastikan aman. Karena sejauh ini naik motor dengan om shofie di jalan sangihe yang tak berbentuk itu, ia tak pernah rela mengurangi kecepatan motornya di bawah 60km/jam. ya mentok-mentok 20km/jam di jalan berlubang. Baginya waktu adalah segalanya.
Perjalanan Om Shofie

OM SHOFIE DENGAN SEGALA AKTIVITASNYA

Begitu lah Om shofie, laki-laki paruh baya yang hingga kini saya tak pernah tahu persis berapa umurnya.  Pertama kali mengenalnya dua tahun lalu, ketika saya bersama 6 mahasiswa UGM lainnya melakukan KKN di desanya, Lapango Kecamatan Manganitu Selatan, Kepulauan Sangihe. 

Sejak dua tahun lalu  sudah terlihat sesuatu yang berbeda pada diri Om Shofie. Semangatnya, rasa ingin tahunya, keberaniannya, dan selara humonya. Hampir semua masyarakat Sangihe memiliki sifat-sifat tadi, tapi khusus om shofie ia mempunyai lebih, ia di atas rata-rata yang lain.

Bayangkan dalam satu hari Om Shofie bisa memiliki 4-5 pekerjaan, mulai dari tengah laut hingga ke Balai Desa. Subuh-sampai pagi hari, ia bekerja sebagai nelayan merangkap pengepul ikan. Ikan yang didapat akan langsung dibawa ke pasar dan diserahkan ke Tante Erma (istrinya) sebagai penjual ikan ternama di desa Lapango. Jika pembeli banyak, kadang Om Shofie juga langsung turun tangan menjual ikan. 


Setelah itu, pagi sampai siang ia bekerja sebagai petugas PDAM Kecamatan Mangsel. Tugasnya mengecek dan memasang saluran air satu kecamatan bahkan kadang di kecamatan sebelah juga. Nah di kesempatan keliling sebagai pegawai PDAM  ini, ia manfaatkan waktu untuk bisnis TV Kabel. 

Di Desa Lapango dan Kec Mangsel, Om shofie adalah satu-satunya orang yang punya saluran TV Indovision. Bagi masyarakat yang  berminat, Ia akan menyalurkan progaram TV tersebut ke rumah warga lain melalui kabel. Karena itu nama usahanya disebut TV Kabel. Pembayarannya di punggut satu kali sebulan, sekalian ketika OM Shofie keliling mengecek  PDAM. 

Siang sampai malam, (tapi sebenarnya 24 jam sih), om shofie adalah pejabat desa. Ia menjabat sebagai Kepala Pemberdayaan Masyarakat Desa Lapango. Seringkali saya melihat Om Shofie pulang dari mengecek saluran PDAM, kondisi badan masih kotor-kotoran, Ia kemudian bersih2 sedikit, pakai baju kameja lalu langsung ke balai desa mengikuti rapat bersama perangkat desa lainnya

Itu semua adalah pekerjaan rutinnya, ada juga pekerjaan sampingannya; dulu (mantan) pegulat kampung, tukang ojek panggilan, pemandu wisata dadakan sekaligus pemilik dan penyedia jasa sewa perahu wisata. Jika pagi perahunya digunakan untuk menangkap ikan, maka siang digunakannya untuk antar jemput orang yang berwisata sekitar lapango-Bebalang-Mandaku-Dakupang. Om Shofie juga Ketua Tim Pemenangan Bupati Terpilih (Pak Yabes E Gagana) Kec, MANGSEL.

Terakhir, Om Shofie adalah Mahasiswa Aktif jurusan Ilmu pemerintahan di Universitas Terbuka Sangihe. Bagi saya ini "luar biasa" sekali, dengan segala kondisi kerasnya hidup di kepulauan Sangihe, dan segala pekerjaan serta tanggung jawabnya sebagai Suami dan ayah bagi 3 orang anak, Om shofie masih sempat kuliah di umur tak lagi muda. 

Pernah suatu kali kami bercerita tentang suka duka OM Shofie kuliah di umur sigini. Ia mengaku kesusahan mengikuti perkembangan jaman, sehingga harus berjuang keras belajar membuat tugas menggunakan laptop. Tapi yang membuat saya bangga Om Shofie begitu menikmati statusnya sebagai mahasiswa. Saya melihat, baginya belajar adalah Hobi.

Pada titik ini, pada suatu subuh di atas perahu ketika ikut menjaring ikan bersamanya, saya pernah bertanya, “Om apa nggak merasa capek bekerja full tiap hari di tambah kuliah? nanti om sakit.  Dengan nada yang agak pelan,  saya berharap om shofie akan merasa terharu mendengar pertanyaan itu. Tapi responnya sungguh berbeda. Dengan senyum dan raut muka membanggakan diri, Ia menjawab “Sudah biasa Sul. Pasti Kuat om ini”.
Dalam hati saya ingin menjawab, “sombong sekali”.

Berbicara kesombongan om Shofie, sebenarnya tak sampai disitu. Suatu kali setelah Om shofie saya ajak snorklingan di sekitar Pulau Dakupang, Ia bertanya "bagaimana kalau kita buka usaha wisata selam di sini, nanti kau ajari om pake tabung selam itu”. Saya yang mendengarnya setengah tak percaya, bisa-bisanya ia kefikiran itu. Bagaimana mungkin Om SHofie begitu pecaya dirinya membuka Dive center, padahal pake snorkle saja baru pertama ini. Itu pun masih kesusahan. Belum lagi belajar diving dan proses buka dive center bukan sesuatu yang mudah. Ampun dehhh semangatnya...

Berfoto sejenak dengan Om Shofie setelah snoklingan dan nembak ikan di Pulau Dakupang



Dua bulan KKN di sangihe, waktu saya memang lebih banyak habis bersama om shofie. Mungkin karena tinggal di rumahnya, hampir semua kegiatan om Shofie pernah saya ikuti. Jual ikan di Pasar, jadi operator TV Kabel dadakan sekaligus merangkap asisten pemasangan PDAM, sampai menemaninya rapat di desa. Suatu kali saya disuruh menjadi moderator dalam sebuah diskusi tentang mitigasi bencana longsor dan banjir. 

Bersamanya pula sering survei banyak tinggalan arkeologis mulai dari kubur batu di atas bukit hingga  kubur tua di tengah-tengah pulau tak berpenghuni. 

Diantara semuanya itu, yang paling terkenang adalah saat membantunya mencari ikan. Saya sengaja bangun sebelum subuh, agar tidak ditinggalkan om shofie mencari ikan. Suatu kali saya nyaris muntah berat,  karena ulahnya. Ia sengaja membawa perahu boatnya ke sebelah timur pulau Dakupang yang semua orang tahu kalau gelombang di situ paling ganas. Ditambah lagi waktu itu awal masanya angin selatan (angin ganas), maka jadilah perahu terombang-ambing di gelombang besar tak  kurang setinggi 10 meter.  Sejak awal  saya sudah menduga, Om Shofie sudah merencanakan ini.

Tak lama kemudian, ia mematikan mesin perahu, membuka baju lalu buru-buru terjun ke dalam laut, mengikuti teman-temannya yang sedang menjaring ikan. 
Dan saya,?  saya terjebak dalam perahu kecil ditengah amukan ombak setinggi rumah itu. 

“Om ini tidak tenggelam kah? saya berteriak untuk memastikan.
“tidak, kan ombak biasa, kalau perahu tidak didayung, tidak akan tenggelam, sudah biar saja”. 
Dalam hati, saya mengerutu. Apa di bilangnya ombak biasa? Prettt.

dan teori dari mana, perahu yang diam tidak didayung, maka tidak akan tenggelam?  Di laut tenang mungkin bisa, tapi di ombak setinggi ini? yang ada jungkir balik.

Jujur baru kali ini merasakan ombak bergulung dan setinggi ini. Setahun yang lalu ke karimunjawa juga sedang ombak besar tapi paling 2-3 meteran, itupun naik kapal feri, jadi masih biasa. lah ini,?
Sebelum berenang lebih jauh, om shofie berteriak, 
“mau ikut om atau tetap di perahu?”
“ah, nggak om di sini saja, parah sekali ini ombaknya. sumpah.”
“Om shofie hanya tertawa terkekek kemudian berenang lagi jauh ke tengah”.
Saya tahu persis maksud tawanya itu. Om shofie pasti mengejek. 

Sebelumnya, berangkat dari rumah kami sudah sepakat akan menjaring ikan dan berenang bersama. Apapun yang terjadi akan kami lakukan. Kesepakatan itu disaksikan Tante Erma, istrinya Om Shofie, Oma dan Opa. Tentu saya begitu percaya diri, karena tahun 2013, saya mengantongi sertifikat menyelam A1.  ah pasti bisalah.
Tapi pagi itu kenyataan sungguh berbeda. Saya tak burkutik. Jangankan untuk menyelam, menengadahkan kepala ke atas saja saya tak sanggup. Pasti langsung muntah. 

Akhirnya waktu 45-60 menit om shofie menjaring ikan, saya hanya meringkuk di bagian bawah mesin perahu. Itu adalah waktu paling menyiksa seumr hidup. Saya yang sudah mulai mual berat di amuk gelombang, sesekali menoleh ke samping melihat ombak di pinggir Pulau yang semakin menggila. Waktu itu saya tidak takut jika perahu tenggelam,  yang saya takutkan jika muntah.

Kalau kejadiannya muntah, maka saya kan jadi olok-olokan Om Shofie, teman2 KKN dan semua warga desa Lapango. Habis sudah harga diri ini, status sebagai penyelam bersertifikat (walaupun pemula) tak berarti lagi. Bagi saya harga diri penting sekali, karena dua bulan berbaur dengan masyarakat sangihe-orang timur, saya memahami betul arti sebuah harga diri.  Lebih dari segalanya. Waktu itu di atas perahu saya sekuat tenaga menahan agar tidak muntah, sampai akhirnya om shofie kembali. 

Pagi itu tidak banyak ikan yang di dapat, berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang berlimpah. Sebenarnya wajar tidak banyak ikan yang didapat, lah wong ombaknya segituu besar, mengambang dalam air saja susah apalagi mau menangkap Ikan. Tapi Om Shofie sambil melayangkan protes juga menuduh.

“ah ikannya ng ada Sul, ini gara-gara kamu muntah, jadinya ikan pada lari, ah payah”.
Saya yang masih pusing memilih tidak menjawab. Tak ingin rasanya berdebat dengan kondisi tak karuan itu. Saya masih meringkuk di bagian mesin perahu, fokus menetralkan fikiran dan metal agar benar-benar tidak muntah. Hanya satu harapan waktu itu, cepat-cepat enyah dari gelombang besar ini. 

Om shofie menghidupkan mesin dan perahu mulai melaju pelan. Ketika itu, Om Shofie masih sempat-sempatnya manakuti ku. Ia sengaja melajukan perahu pas ketika ombak menggulung tinggi. Bagian belakang perahu masih di atas ombak tapi bagian depannya sudah di atas awang-awang, jika telat sedikit saja menancap gas, maka terbalik sudah perahu itu digulung ombak. Saya menoleh khawatir ke om shofie, ingin copot rasanya jantung ini dan badan tak lagi berasa. Bukannya kasihan, Om Shofie malah tertawa terbaha-bahak. 
Tak cukup sepertinya ia menyiksa ku pagi itu.

Pulang ke rumah, benar saja. Walaupun di laut hanya pusing dan tidak muntah, Om Shofie membawa kabar bohong ke tante erma, oma, opa dan semua teman-teman KKN.
“Sultan muntah, mabok laut. ah cemen dia”.
Parahnya, tidak bertanya dan konfirmasi, semua orang langsung percaya. Dan sebenarnya memang itu yang ditunggu-tunggu oleh mereka. Sultan sang penyelam A1 mabuk laut mencari ikan. 

Siang itu berita tentang saya muntah mencari ikan tersiar ke seluruh masyarakat desa. Saya yang sudah mulai "baikan" setelah makan dan istirahat, belum bisa membela diri hanya bisa tertawa geli. Begini ternyata kerasnya hidup di timur kepulauan.

>>>>> 2 tahun kemudian
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~`



Kembali Untuk Kedua Kalinya. 
(Antara Manado dan Sangihe, di atas langit kepulauan "Nusa Utara")
 
Jam di HP menunjukan pukul 08.02 WITA. Saya menoleh ke luar jendela, baru sampai di atas pulau Sangir Besar. Melalui pengeras suara, awak kabin menyampaikan bahwa 10 menit lagi pesawat akan mendarat di Bandara Naha Sangihe, Tidak ada perbedaan waktu antara Manado dan Sangihe".

Tapi tetap saja telat dari jadwal yang ditentukan. Agak jengkel memang maskapai ini selalu telat. Tapi di sisi lain, bersyukur juga karena hanya maskapai ini pula yang menyediakan penerbangan Manado-Sangihe. Saya mulai khawatir, karena jam 9.30 jadwal FGD bersama Kemenko kemaritiman dan PEMDA Sangihe. Saya takut terlambat dan tidak ikut FGD padahal di bertugas sebagai fasilitator. 

Dari pada menggerutu atas keterlembatan pesawat,  saya memilih membuka penutup jendela pesawat lebih besar, lalu mengalihkan pandangan ke ujung jauh.  Terlihat jelas pulau-pulau kecil Sangihe yang manawan. Pulau bebalang, Pulau Dakupang dan Pulau Mandaku. Pulau-pulau yang sangat akrab bagi ku dua tahun lalu. Melihat Pulau Mandaku langsung teringat cerita  ketika menemani om shofie mencari ikan dua tahun lalu. Juga semua tentang pengalaman KKN dua bulan di sana. Ada rasa senang sekaligus haru. Akhirnya setelah dua tahun meninggalkan pulau-pulau yang indah ini dengan sejuta kenangan bersama masyarakatnya, kini saya kembali.

Dulu di malam perpisahan KKN saat menyampaikan kesan dan pesan pada semua masyarakat Lapango, dengan yakinnya saya mengatakan “suatu saat nanti saya akan kembali ke Tanah sangir”. Tapi itu entah kapan, sayapun tidak dapat memastikannya karena sadar bahwa bukan jarak yang dekat antara Padang-Jogja dan Sangihe, butuh 3 hari perjalanan. 

 

Salam terakhir dengan Om Shofie (barketiga) di saat malam perpisahan KKN 2015.

Hari-hari setelah perpisahan KKN (2015-2016) ketika kami sudah pulang ke Jogja, Om Shofie selalu menelpon setidaknya sekali sebulan. Sekedar untuk bertanya kabar dan mengingat cerita lama.  Kadang saya menjawab telpon om Shofie di kampus ketika istirahat kuliah, kadang di sela-sela rapat kegiatan. Sebelum menutup telpon, di akhir percakapan Om Shofie selalu bertanya, “Sultan kapan balik ke Sangihe?” kita so kangen ini”. 

Saya hanya bisa menjawab “suatu hari nanti, Om. Doa kan sultan dapat uang yang banyak agar bisa kembali ke Sangihe. Sutan juga dah kangen cari ikan sama om shofie makan bareng sama oma”.  Sampai saat menelpon dengan om shofie di akhir tahun 2016, saya masih berusaha menemukan jalan kapan dan bagaimana caranya kembali ke Sangihe. Tapi kini, Alhamdulillah, Tuhan memberi jalan melalui sebuah Kegiatan bertajuk UGM Maritime Culture Expedition. 

Hari ini saya berkata jujur, secara ilmiah kegiatan ini digagas dengan alasan untuk membuktikan Sangihe sebagai pintu gerbang Nusantara, tapi selain itu juga ada alasan personal. Kegiatan ini saya gagas sebagai jalan untuk kembali ke Sangihe. Memenuhi janji pada masyarakat Sangir untuk kembali bertemu setelah lama berpisah dan bercita-cita mengembangkan segala potensi alam Sangihe.
~~~~~~~~~~~~~~~

Tiba di Sangihe
Tepat pukul 08.00 WITA, (27 April 2017) Pesawat mendarat dengan baik di Bandara Naha, Tahuna, Kepulauan Sangihe. Saya bergegas mengambil barang dan langsung ke luar bandara. 

Bandara Naha memang kecil tak lebih dari seluas lapangan bola, gedungnya mungkin hanya sebesar puskesmas, satu ruangan besar tempat cek in dan ruang tunggu, satu lagi ruang ambil barang sekalian pintu keluar.
Image result for bandara naha tahuna sangihe
Blog Kota Tahuna

Pukul 08.30 Bandara sudah mulai sepi. Maklum penerbangan hanya dua kali Manado- Sangihe (07.00-07.45) dan Sangihe –Manado (08.30-09.15). Penumpang lain sudah pada keluar bandara saya masih menunggu Om Shofie. Bersama saya waktu itu ada Mas Jajang, Dosen sekaligus senior ku yang memenami kami melakukan ekspedisi Sangihe.

Di bandara, saya mengobrol banyak dengan Mas Jajang tentang ekspedisi Sangihe dan persiapan FGD nanti. Tak berlangsung lama dari kejauhan terlihat sosok yang dinantikan; Om Shofie. 
Saya masih diam, untuk memastkan. Berjarak 15 meter Ia berhenti dan membuka helmnya. Yah benar itu Om Shofie, “Om Shofie, di sini”. Saya langsung memanggilnya

Ia menoleh dan tersenyum, saya dan mas jajangpun membalas dengan tersenyum. 

Dari raut mukanya saya melihat ia kurang tidur. Ia terlihat lebih capek. Tentu karena perjalanan jauh dari rumah ke sini. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Motor OM Shofie sudah ganti dengan yang baru. Kini ia punya Motor gede, persis seperti motor dalam film Ganteng-Ganteng Srigala.

Bersama Om SHofie, Tante Arma dan lestari
Cepat-cepat Ia memarkir motornya lalu berjalan cepat ke arah kami. Saya sedikit beranjak, kemudian menyusul dan menyalaminya. Niat hati ingin mengenalkannya ke Mas Jajang, Om Shofie seketika malah memelukku “Sultan, kamu, anak hilang kini kembali juga to”. Suara itu terdengar pelan. Berselang beberapa detik saya membalikan badan dan Om Shofie terlihat mengusap matanya yang basah. Air mata mengalir di pipinya. 

Saya hanya bisa diam, karena tak menyangka om shofie akan bersikap begini. Saya membayangkan pertama kali bertemu dengannya, Om Shofie akan tertawa dan meledek ku seperti kebiasaannya dulu. tapi pagi itu ternyata tidak, ada yang berbeda padanya. 

Dua bulan hidup bersamanya saat KKN dulu Ia tak pernah bersikap sehangat ini, padahal hari-hari waktu itu selalu bersamanya. Bahkan ketika saya pamit pulang KKN dua tahun lalu, di pelabuhan Sangihe, ketika orang lain menangis dan menyalami kami satu persatu karena akan berpisah lama, dia sedikitpun tidak. Hanya tertawa dan tersenyum biasa.

 Tapi pagi itu, laki-laki kekar dan berperawakan keras itu, ternyata juga bisa menitikan air mata bagi saya yang sebelumnya bukan siapa-siapanya. Saya yang hanya seorang anak minang pedalaman  merantau ke jawa, kuliah di jogja dan pernah berkesempatan KKN di Sangihe.
“Pada titik ini, saya menyadari kebersamaan dan kerinduan pada orang lain akan baru sangat terasa apabila waktu pernah memisahkan kita untuk beberapa lama”.  
Saya yang masih kagok berusaha membalas kehangatan Om Shofie dengan menepuk bahunya “ Om Apa Kabar? sehat-sehat ya? Ia masih mengusap matanya yang basah dan menjawab “Ia sehat. 

Saya berusaha untuk tidak menitikan air mata.. Rindu sebenarnya tapi tak ingin di hari yang  yang sudah ku nantikan selama dua tahun itu, ada dua orang yang menitikan air mata.

Di belakang, Mas jajang hanya diam dengan sedikit tersenyum menyaksikan kami. Sebagai arkeolog senior yang telah kenyang dengan pengalaman penelitian ke pelosok Indonesia, saya yakin Mas Jajang merasakan apa yang om shofie dan saya rasakan. Apalagi dulu di kampus, Mas Jajang sering bercerita tentang kisah kedekatannya dengan Bapak angkatnya di Pulau Nias.
 

Pagi itu, sebelum kami berangkat ke penginaoan di Kota Tahuna, Mas Jajang sempat bertanya ke Om Shofie “sudah berapa lama Sultan tidak pulang ke Sangihe Bapak”?

Foto bersama terakhir dengan Om Shofie 9 Mei 2017, di saat tim UMCE akan pulang



Comments

Popular Posts