KETIKA OM SHOFIE MENYEKA AIR MATANYA
“Pada titik
ini, saya menyadari, kebersamaan akan baru sangat terasa
apabila waktu pernah memisahkan kita untuk beberapa lama”.
#KKN_PPM UGM UNIT SANGIHE 2015
#UGM MARITIME CULTURE EXPEDITION 2017
#KKN_PPM UGM UNIT SANGIHE 2015
#UGM MARITIME CULTURE EXPEDITION 2017
MANADO, 26 April 2017.
~~~~~~~~~
04.00 WITA, Tepatnya selesai shalat subuh, sebuah SMS masuk dari Om Shofie.“Sultan, di mana sekarang? jam berapa tiba
Sangihe?
Tidak menunggu lama saya langsung membalasnya, “Maaf Om, baru memberi kabar, Sultan baru sampai di Manado, nanti jam 07.45 sampai di Sangihe, naik pesawat”. Sms terkirim.
Satu menit kemudian, telpon masuk dari Om Shofie.
“halo,, sultan ke mana saja, om telpon dari
kemarin tidak diangkat-angkat, sms tidak dibalas-balas”.
“maaf Om,,,,,,,,,, belum sempat saya melanjutkannya,, Om shofie
langsung menjawab
“sudah, jadi jam 07.45 sampai di Sangihe to?
nanti om jemput”
“wah om mau jemput, tidak usah repot-repot,
sultan nanti dijemput sama anggota tim yang di Kota Tahuna”.
“Sudah tidak apa, om jemput naik motor, jangan
takut”. Balas Om Shofie dan panggilan langsung mati.
“Ampunn dehh”. Begini kebiasan om shofie dari dulu suka
mematikan panggilan seenaknya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Subuh itu, 26 April 2017, ketika
Om Shofie menelpon, Saya sedang berada di Manado, tepatnya di Rumah Pak Joko, Alumni Arkeologi
UGM yang sekaligus kepala TU Balai Arkeologi Manado. Dalam Ekspedisi Sangihe ini,
kami bersyukur sekali banyak dibantu Pak Joko dan Balar Manado. Yang paling merepotkan
beliau adalah mengantar jemput tiga kloter tim ekspedisi dari Bandara Sam
Ratulangi transit di Kantornya lalu diantar ke Pelabuhan Manado. Satu hari yang lalu sudah berangkat kloter pertama,
dan subuh ini saya adalah kloter ke dua sedang transit di rumah Pak
Joko. Semoga Allah membalas semua kebaikan Pak Joko. Aminn
Setelah menerima telpon dari Om Shofie, saya masih “mager” di kasur. Selain karena terlalu capek abis perjalanan kemarin Jogja-Semarang-Jakarta-Manado, Saya masih teringat Om Shofie, ngapain maksa buat jemput jauh-jauh padahal ada anggota tim dari Kota Tahuna untuk menjemput, hanya 30 menit-an.
Dan lagian Om Shofie Bilang jangan takut. Siapa juga yang takut? Saya tak pernah takut, ke Sangihe naik pesawat gini, 45 menit sudah sampai. Bukan naik kapal yang belasan jam. Tiba di sanapun nanti juga sudah siang terang. Ngapain takut
Yang saya takutkan malah Om shofie-nya, subuh buta menjemput ke bandara. Tak terbayang perjalanannnya dari dari Pulau Bebalang naik perahu ke Lapango, 30-45 menit. Kemudian lanjut naik motor menempuh jalanan Pulau Sangihe yang tak berbentuk. Tidak hanya jalan tanah dan kerikil, jalan sangihe juga penuh belokan tajam, jurang dan pendakian mematikan.
Om Shofie berangkat dari sebuah pulau kecil di bagian selatan Sangihe menuju bandara Naha di bagian ujung utara Pulau Sangihe. Dalam google map saya melihat jaraknya hampir sama Bandung - Jakarta. Bedanya Om shofie ditambah naik perahu menyeberangi laut.
Belum lagi
di tengah jalan melewati desa Laine. Itu adalah desa gudangnya buaya muara. Menemukan
buaya di pinggir jalan atau berjemur di jembatan, sudah hal biasa di desa itu. Bagi
saya ini paling menggerikan. Yang tak habis fikir lagi, Om shofie mau menjemput
naik motor. Saya ingat Om Shofie hanya punya satu motor, merek smash yang sejak
ia beli tahun 2010, tidak lebih dari 3 kali pernah di service dan dicucinya?
Jujur, di satu sisi saya khwatir, tapi di sisi lain saya juga menikmatinya :) Tentu ini akan menjadi cerita yang tak kan terlupakan.
Pagi itu saya berangkat ke Bandaro Manado kembali diantar Pak Joko, untuk terbang ke Sangihe Pesawat Wings Air pukul 07.00 WITA. Di perjalanan ke Bandara saya berfikir liar tentang Om shofie. Pertanyaan-pertanyaan kemudian muncul, Apakah ia baik-baik saja? jenis buaya apa yang dilihat di desa Laine subuh ini? dan berapa kecepatan naik motornya? bisakah ia tiba di bandara tepat waktu? Untuk pertanyaan terakhir saya bisa sedikit memastikan aman. Karena sejauh ini naik motor dengan om shofie di jalan sangihe yang tak berbentuk itu, ia tak pernah rela mengurangi kecepatan motornya di bawah 60km/jam. ya mentok-mentok 20km/jam di jalan berlubang. Baginya waktu adalah segalanya.
Jujur, di satu sisi saya khwatir, tapi di sisi lain saya juga menikmatinya :) Tentu ini akan menjadi cerita yang tak kan terlupakan.
Pagi itu saya berangkat ke Bandaro Manado kembali diantar Pak Joko, untuk terbang ke Sangihe Pesawat Wings Air pukul 07.00 WITA. Di perjalanan ke Bandara saya berfikir liar tentang Om shofie. Pertanyaan-pertanyaan kemudian muncul, Apakah ia baik-baik saja? jenis buaya apa yang dilihat di desa Laine subuh ini? dan berapa kecepatan naik motornya? bisakah ia tiba di bandara tepat waktu? Untuk pertanyaan terakhir saya bisa sedikit memastikan aman. Karena sejauh ini naik motor dengan om shofie di jalan sangihe yang tak berbentuk itu, ia tak pernah rela mengurangi kecepatan motornya di bawah 60km/jam. ya mentok-mentok 20km/jam di jalan berlubang. Baginya waktu adalah segalanya.
Perjalanan Om Shofie |
OM SHOFIE DENGAN SEGALA AKTIVITASNYA
Begitu lah Om
shofie, laki-laki paruh baya yang hingga kini saya tak pernah tahu persis berapa umurnya. Pertama kali mengenalnya dua tahun lalu, ketika saya bersama 6 mahasiswa UGM lainnya
melakukan KKN di desanya, Lapango Kecamatan Manganitu Selatan, Kepulauan
Sangihe.
Sejak dua tahun lalu sudah terlihat sesuatu yang berbeda pada diri Om Shofie. Semangatnya, rasa ingin tahunya, keberaniannya, dan selara humonya. Hampir semua masyarakat Sangihe memiliki sifat-sifat tadi, tapi khusus om shofie ia mempunyai lebih, ia di atas rata-rata yang lain.
Sejak dua tahun lalu sudah terlihat sesuatu yang berbeda pada diri Om Shofie. Semangatnya, rasa ingin tahunya, keberaniannya, dan selara humonya. Hampir semua masyarakat Sangihe memiliki sifat-sifat tadi, tapi khusus om shofie ia mempunyai lebih, ia di atas rata-rata yang lain.
Bayangkan
dalam satu hari Om Shofie bisa memiliki 4-5 pekerjaan, mulai dari tengah laut
hingga ke Balai Desa. Subuh-sampai pagi hari, ia bekerja sebagai nelayan
merangkap pengepul ikan. Ikan yang didapat akan langsung dibawa ke pasar dan
diserahkan ke Tante Erma (istrinya) sebagai penjual ikan ternama di desa Lapango. Jika
pembeli banyak, kadang Om Shofie juga langsung turun tangan menjual ikan.
Setelah itu, pagi
sampai siang ia bekerja sebagai petugas PDAM Kecamatan Mangsel. Tugasnya mengecek dan memasang saluran air
satu kecamatan bahkan kadang di kecamatan sebelah juga. Nah di kesempatan
keliling sebagai pegawai PDAM ini, ia
manfaatkan waktu untuk bisnis TV Kabel.
Di Desa Lapango dan Kec Mangsel, Om shofie adalah satu-satunya orang yang punya saluran TV Indovision. Bagi masyarakat yang berminat, Ia akan menyalurkan progaram TV tersebut ke rumah warga lain melalui kabel. Karena itu nama usahanya disebut TV Kabel. Pembayarannya di punggut satu kali sebulan, sekalian ketika OM Shofie keliling mengecek PDAM.
Di Desa Lapango dan Kec Mangsel, Om shofie adalah satu-satunya orang yang punya saluran TV Indovision. Bagi masyarakat yang berminat, Ia akan menyalurkan progaram TV tersebut ke rumah warga lain melalui kabel. Karena itu nama usahanya disebut TV Kabel. Pembayarannya di punggut satu kali sebulan, sekalian ketika OM Shofie keliling mengecek PDAM.
Siang sampai malam, (tapi sebenarnya 24 jam sih), om shofie adalah pejabat
desa. Ia menjabat sebagai Kepala Pemberdayaan Masyarakat Desa Lapango. Seringkali saya
melihat Om Shofie pulang dari mengecek saluran PDAM, kondisi badan masih kotor-kotoran,
Ia kemudian bersih2 sedikit, pakai baju kameja lalu langsung ke balai desa
mengikuti rapat bersama perangkat desa lainnya
Itu semua
adalah pekerjaan rutinnya, ada juga pekerjaan sampingannya; dulu (mantan) pegulat kampung, tukang ojek
panggilan, pemandu wisata dadakan sekaligus pemilik dan penyedia jasa sewa
perahu wisata. Jika pagi perahunya digunakan untuk menangkap ikan, maka siang digunakannya
untuk antar jemput orang yang berwisata sekitar lapango-Bebalang-Mandaku-Dakupang. Om Shofie
juga Ketua Tim Pemenangan Bupati Terpilih (Pak Yabes E
Gagana) Kec, MANGSEL.
Terakhir, Om Shofie adalah Mahasiswa Aktif jurusan Ilmu pemerintahan di Universitas Terbuka Sangihe. Bagi saya ini "luar biasa" sekali, dengan segala kondisi kerasnya hidup di kepulauan Sangihe, dan segala pekerjaan serta tanggung jawabnya sebagai Suami dan ayah bagi 3 orang anak, Om shofie masih sempat kuliah di umur tak lagi muda.
Pernah suatu kali kami bercerita tentang suka duka OM Shofie kuliah di umur sigini. Ia mengaku kesusahan mengikuti perkembangan jaman, sehingga harus berjuang keras belajar membuat tugas menggunakan laptop. Tapi yang membuat saya bangga Om Shofie begitu menikmati statusnya sebagai mahasiswa. Saya melihat, baginya belajar adalah Hobi.
Terakhir, Om Shofie adalah Mahasiswa Aktif jurusan Ilmu pemerintahan di Universitas Terbuka Sangihe. Bagi saya ini "luar biasa" sekali, dengan segala kondisi kerasnya hidup di kepulauan Sangihe, dan segala pekerjaan serta tanggung jawabnya sebagai Suami dan ayah bagi 3 orang anak, Om shofie masih sempat kuliah di umur tak lagi muda.
Pernah suatu kali kami bercerita tentang suka duka OM Shofie kuliah di umur sigini. Ia mengaku kesusahan mengikuti perkembangan jaman, sehingga harus berjuang keras belajar membuat tugas menggunakan laptop. Tapi yang membuat saya bangga Om Shofie begitu menikmati statusnya sebagai mahasiswa. Saya melihat, baginya belajar adalah Hobi.
Pada titik
ini, pada suatu subuh di atas perahu ketika ikut menjaring
ikan bersamanya, saya pernah bertanya, “Om apa nggak merasa capek bekerja full
tiap hari di tambah kuliah? nanti om sakit. Dengan nada yang agak pelan, saya berharap om shofie akan merasa terharu
mendengar pertanyaan itu. Tapi responnya sungguh berbeda. Dengan senyum dan raut
muka membanggakan diri, Ia menjawab “Sudah biasa Sul. Pasti Kuat om ini”.
Dalam hati
saya ingin menjawab, “sombong sekali”.
Berbicara kesombongan
om Shofie, sebenarnya tak sampai disitu. Suatu kali setelah Om shofie saya ajak
snorklingan di sekitar Pulau Dakupang, Ia bertanya "bagaimana kalau kita buka usaha wisata selam di sini,
nanti kau ajari om pake tabung selam itu”. Saya yang mendengarnya setengah tak
percaya, bisa-bisanya ia kefikiran itu. Bagaimana mungkin Om SHofie begitu pecaya
dirinya membuka Dive center, padahal pake snorkle saja baru pertama ini. Itu
pun masih kesusahan. Belum lagi belajar diving dan proses buka dive center bukan
sesuatu yang mudah. Ampun dehhh semangatnya...
![]() |
Berfoto sejenak dengan Om Shofie setelah snoklingan dan nembak ikan di Pulau Dakupang |
Dua bulan
KKN di sangihe, waktu saya memang lebih banyak habis bersama om shofie. Mungkin karena tinggal
di rumahnya, hampir semua kegiatan om Shofie pernah saya ikuti. Jual ikan di
Pasar, jadi operator TV Kabel dadakan sekaligus merangkap asisten pemasangan PDAM,
sampai menemaninya rapat di desa. Suatu kali saya disuruh menjadi
moderator dalam sebuah diskusi tentang mitigasi bencana longsor dan banjir.
Bersamanya pula sering survei banyak tinggalan arkeologis mulai dari kubur batu di atas bukit hingga kubur tua di tengah-tengah pulau tak berpenghuni.
Bersamanya pula sering survei banyak tinggalan arkeologis mulai dari kubur batu di atas bukit hingga kubur tua di tengah-tengah pulau tak berpenghuni.
Diantara
semuanya itu, yang paling terkenang adalah saat membantunya
mencari ikan. Saya sengaja bangun sebelum subuh, agar tidak
ditinggalkan om shofie mencari ikan.
Suatu kali saya nyaris muntah berat,
karena ulahnya. Ia sengaja membawa perahu boatnya ke sebelah timur
pulau Dakupang yang semua orang tahu kalau gelombang di situ paling ganas. Ditambah lagi waktu itu awal masanya angin selatan (angin ganas), maka jadilah perahu terombang-ambing di
gelombang besar tak kurang setinggi 10
meter. Sejak awal saya sudah menduga, Om Shofie sudah merencanakan ini.
Tak lama
kemudian, ia mematikan mesin perahu, membuka baju lalu buru-buru terjun
ke dalam laut, mengikuti teman-temannya yang sedang menjaring ikan.
Dan saya,? saya terjebak dalam perahu kecil ditengah amukan ombak setinggi rumah
itu.
“Om ini tidak tenggelam kah? saya berteriak untuk memastikan.
“Om ini tidak tenggelam kah? saya berteriak untuk memastikan.
“tidak, kan
ombak biasa, kalau perahu tidak didayung, tidak akan tenggelam, sudah biar saja”.
Dalam hati, saya
mengerutu. Apa di bilangnya ombak biasa? Prettt..
dan teori dari mana, perahu yang diam tidak didayung, maka tidak akan tenggelam? Di laut tenang mungkin bisa, tapi di ombak setinggi ini? yang ada jungkir balik.
Jujur baru kali ini merasakan ombak bergulung dan setinggi ini. Setahun yang lalu ke karimunjawa juga sedang ombak besar tapi paling 2-3 meteran, itupun naik kapal feri, jadi masih biasa. lah ini,?
dan teori dari mana, perahu yang diam tidak didayung, maka tidak akan tenggelam? Di laut tenang mungkin bisa, tapi di ombak setinggi ini? yang ada jungkir balik.
Jujur baru kali ini merasakan ombak bergulung dan setinggi ini. Setahun yang lalu ke karimunjawa juga sedang ombak besar tapi paling 2-3 meteran, itupun naik kapal feri, jadi masih biasa. lah ini,?
Sebelum
berenang lebih jauh, om shofie berteriak,
“mau ikut om atau tetap di perahu?”
“mau ikut om atau tetap di perahu?”
“ah, nggak
om di sini saja, parah sekali ini ombaknya. sumpah.”
“Om shofie
hanya tertawa terkekek kemudian berenang lagi jauh ke tengah”.
Saya tahu
persis maksud tawanya itu. Om shofie pasti mengejek.
Sebelumnya,
berangkat dari rumah kami sudah sepakat akan menjaring ikan dan berenang bersama. Apapun yang terjadi akan kami lakukan. Kesepakatan itu disaksikan Tante Erma, istrinya Om Shofie, Oma dan Opa. Tentu saya
begitu percaya diri, karena tahun 2013, saya mengantongi sertifikat menyelam
A1. ah pasti bisalah.
Tapi pagi itu kenyataan sungguh berbeda. Saya
tak burkutik. Jangankan untuk menyelam, menengadahkan kepala ke atas saja saya
tak sanggup. Pasti langsung muntah.
Akhirnya waktu 45-60 menit om shofie menjaring ikan, saya hanya meringkuk di bagian bawah mesin perahu. Itu adalah waktu paling menyiksa seumr hidup. Saya yang sudah mulai mual
berat di amuk gelombang, sesekali menoleh ke
samping melihat ombak di pinggir Pulau yang semakin menggila. Waktu itu saya tidak takut
jika perahu tenggelam, yang saya takutkan jika muntah.
Kalau kejadiannya muntah, maka saya kan jadi olok-olokan Om Shofie, teman2 KKN dan semua warga desa Lapango. Habis sudah harga diri ini, status sebagai penyelam bersertifikat (walaupun pemula) tak berarti lagi. Bagi saya harga diri penting sekali, karena dua bulan berbaur dengan masyarakat sangihe-orang timur, saya memahami betul arti sebuah harga diri. Lebih dari segalanya. Waktu itu di atas perahu saya sekuat tenaga menahan agar tidak muntah, sampai akhirnya om shofie kembali.
Pagi itu tidak banyak ikan yang di dapat, berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang berlimpah. Sebenarnya wajar tidak banyak ikan yang didapat, lah wong ombaknya segituu besar, mengambang dalam air saja susah apalagi mau menangkap Ikan. Tapi Om Shofie sambil melayangkan protes juga menuduh.
Kalau kejadiannya muntah, maka saya kan jadi olok-olokan Om Shofie, teman2 KKN dan semua warga desa Lapango. Habis sudah harga diri ini, status sebagai penyelam bersertifikat (walaupun pemula) tak berarti lagi. Bagi saya harga diri penting sekali, karena dua bulan berbaur dengan masyarakat sangihe-orang timur, saya memahami betul arti sebuah harga diri. Lebih dari segalanya. Waktu itu di atas perahu saya sekuat tenaga menahan agar tidak muntah, sampai akhirnya om shofie kembali.
Pagi itu tidak banyak ikan yang di dapat, berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang berlimpah. Sebenarnya wajar tidak banyak ikan yang didapat, lah wong ombaknya segituu besar, mengambang dalam air saja susah apalagi mau menangkap Ikan. Tapi Om Shofie sambil melayangkan protes juga menuduh.
“ah ikannya ng ada Sul, ini gara-gara kamu muntah, jadinya ikan pada lari, ah payah”.
Saya yang masih pusing memilih
tidak menjawab. Tak ingin rasanya berdebat dengan kondisi tak karuan itu. Saya masih meringkuk di bagian mesin perahu, fokus menetralkan
fikiran dan metal agar benar-benar tidak muntah. Hanya satu harapan waktu itu,
cepat-cepat enyah dari gelombang besar ini.
Om shofie
menghidupkan mesin dan perahu mulai melaju pelan. Ketika itu, Om Shofie masih
sempat-sempatnya manakuti ku. Ia sengaja melajukan perahu pas ketika ombak
menggulung tinggi. Bagian belakang perahu masih di atas ombak tapi bagian depannya sudah di atas awang-awang, jika telat sedikit saja menancap gas, maka terbalik sudah perahu
itu digulung ombak. Saya menoleh khawatir ke om shofie, ingin copot rasanya jantung ini dan badan tak lagi berasa. Bukannya kasihan, Om Shofie
malah tertawa terbaha-bahak.
Tak cukup sepertinya ia menyiksa ku pagi itu.
Tak cukup sepertinya ia menyiksa ku pagi itu.
Pulang ke rumah, benar saja. Walaupun di laut hanya pusing dan tidak muntah, Om Shofie membawa kabar bohong ke tante erma, oma, opa dan semua teman-teman KKN.
“Sultan
muntah, mabok laut. ah cemen dia”.
Parahnya, tidak bertanya dan konfirmasi, semua orang langsung percaya. Dan sebenarnya memang itu yang
ditunggu-tunggu oleh mereka. Sultan sang penyelam A1 mabuk laut mencari ikan.
Siang itu berita tentang saya muntah mencari ikan tersiar ke seluruh masyarakat desa. Saya yang sudah mulai "baikan" setelah makan dan istirahat, belum bisa membela diri hanya bisa tertawa geli. Begini ternyata kerasnya hidup di timur kepulauan.
Siang itu berita tentang saya muntah mencari ikan tersiar ke seluruh masyarakat desa. Saya yang sudah mulai "baikan" setelah makan dan istirahat, belum bisa membela diri hanya bisa tertawa geli. Begini ternyata kerasnya hidup di timur kepulauan.
>>>>> 2 tahun kemudian
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~`
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~`
Kembali Untuk Kedua Kalinya.
(Antara Manado dan Sangihe, di atas langit kepulauan "Nusa Utara")
Jam di HP menunjukan pukul 08.02 WITA. Saya menoleh ke luar jendela, baru sampai di atas pulau Sangir Besar. Melalui pengeras suara, awak kabin menyampaikan bahwa 10 menit lagi pesawat akan mendarat di Bandara Naha Sangihe, Tidak ada perbedaan waktu antara Manado dan Sangihe".
Tapi tetap
saja telat dari jadwal yang ditentukan. Agak jengkel memang maskapai ini selalu
telat. Tapi di sisi lain, bersyukur juga karena hanya maskapai ini pula yang
menyediakan penerbangan Manado-Sangihe. Saya mulai khawatir, karena jam 9.30
jadwal FGD bersama Kemenko kemaritiman dan PEMDA Sangihe. Saya takut terlambat
dan tidak ikut FGD padahal di bertugas sebagai fasilitator.
Dari pada menggerutu
atas keterlembatan pesawat, saya memilih membuka
penutup jendela pesawat lebih besar, lalu mengalihkan pandangan ke ujung jauh. Terlihat jelas pulau-pulau kecil Sangihe yang manawan. Pulau bebalang, Pulau
Dakupang dan Pulau Mandaku. Pulau-pulau yang sangat akrab bagi ku dua tahun lalu. Melihat Pulau Mandaku langsung teringat
cerita ketika menemani om shofie mencari ikan dua tahun lalu. Juga semua tentang
pengalaman KKN dua bulan di sana. Ada rasa senang sekaligus haru. Akhirnya setelah dua
tahun meninggalkan pulau-pulau yang indah ini dengan sejuta kenangan bersama
masyarakatnya, kini saya kembali.
Dulu di
malam perpisahan KKN saat menyampaikan kesan dan pesan pada semua masyarakat
Lapango, dengan yakinnya saya mengatakan “suatu saat nanti saya akan kembali ke
Tanah sangir”. Tapi itu entah kapan, sayapun tidak dapat memastikannya karena sadar bahwa bukan jarak yang dekat antara Padang-Jogja dan Sangihe, butuh 3 hari
perjalanan.
Hari-hari setelah
perpisahan KKN (2015-2016) ketika kami sudah pulang ke Jogja, Om Shofie selalu menelpon setidaknya sekali
sebulan. Sekedar untuk bertanya kabar dan mengingat cerita lama. Kadang saya menjawab telpon om Shofie di kampus ketika
istirahat kuliah, kadang di sela-sela rapat kegiatan. Sebelum menutup telpon, di akhir percakapan
Om Shofie selalu bertanya, “Sultan kapan balik ke Sangihe?” kita so kangen ini”.
Saya hanya bisa
menjawab “suatu hari nanti, Om. Doa kan sultan dapat uang yang banyak agar bisa
kembali ke Sangihe. Sutan juga dah kangen cari ikan sama om shofie makan bareng
sama oma”. Sampai saat menelpon dengan
om shofie di akhir tahun 2016, saya masih berusaha menemukan jalan kapan dan bagaimana
caranya kembali ke Sangihe. Tapi kini, Alhamdulillah, Tuhan memberi jalan
melalui sebuah Kegiatan bertajuk UGM Maritime Culture Expedition.
Hari ini
saya berkata jujur, secara ilmiah kegiatan ini digagas dengan alasan untuk membuktikan
Sangihe sebagai pintu gerbang Nusantara, tapi selain itu juga ada alasan personal. Kegiatan ini saya gagas sebagai jalan untuk kembali ke Sangihe. Memenuhi janji pada masyarakat Sangir untuk kembali bertemu setelah lama berpisah dan bercita-cita mengembangkan
segala potensi alam Sangihe.
~~~~~~~~~~~~~~~
Tiba di Sangihe
Tepat pukul
08.00 WITA, (27 April 2017) Pesawat mendarat dengan baik di Bandara Naha,
Tahuna, Kepulauan Sangihe. Saya bergegas mengambil barang dan langsung ke luar
bandara.
Bandara Naha memang kecil tak lebih dari seluas lapangan bola, gedungnya mungkin hanya sebesar puskesmas, satu ruangan besar tempat cek in dan ruang tunggu, satu lagi ruang ambil barang sekalian pintu keluar.
Bandara Naha memang kecil tak lebih dari seluas lapangan bola, gedungnya mungkin hanya sebesar puskesmas, satu ruangan besar tempat cek in dan ruang tunggu, satu lagi ruang ambil barang sekalian pintu keluar.
![]() |
Blog Kota Tahuna |
Pukul 08.30
Bandara sudah mulai sepi. Maklum penerbangan hanya dua kali Manado- Sangihe
(07.00-07.45) dan Sangihe –Manado (08.30-09.15). Penumpang lain sudah pada keluar
bandara saya masih menunggu Om Shofie. Bersama saya waktu itu ada Mas Jajang,
Dosen sekaligus senior ku yang memenami kami melakukan ekspedisi Sangihe.
Di bandara, saya
mengobrol banyak dengan Mas Jajang tentang ekspedisi Sangihe dan persiapan FGD
nanti. Tak berlangsung lama dari kejauhan terlihat sosok yang dinantikan;
Om Shofie.
Saya masih
diam, untuk memastkan. Berjarak 15 meter Ia berhenti dan membuka helmnya. Yah
benar itu Om Shofie, “Om Shofie,
di sini”. Saya langsung memanggilnya
Ia menoleh
dan tersenyum, saya dan mas jajangpun membalas dengan tersenyum.
Dari raut
mukanya saya melihat ia kurang tidur. Ia terlihat lebih capek. Tentu karena
perjalanan jauh dari rumah ke sini. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Motor OM
Shofie sudah ganti dengan yang baru. Kini ia punya Motor gede, persis seperti motor dalam
film Ganteng-Ganteng Srigala.
![]() |
Bersama Om SHofie, Tante Arma dan lestari |
Saya hanya bisa diam, karena tak menyangka om shofie akan bersikap begini. Saya
membayangkan pertama kali bertemu dengannya, Om Shofie akan tertawa dan meledek ku
seperti kebiasaannya dulu. tapi pagi itu ternyata tidak, ada yang berbeda padanya.
Dua bulan hidup bersamanya saat KKN dulu Ia tak pernah bersikap sehangat ini, padahal hari-hari waktu itu selalu bersamanya. Bahkan ketika saya pamit pulang KKN dua tahun lalu, di pelabuhan Sangihe, ketika orang lain menangis dan menyalami kami satu persatu karena akan berpisah lama, dia sedikitpun tidak. Hanya tertawa dan tersenyum biasa.
Dua bulan hidup bersamanya saat KKN dulu Ia tak pernah bersikap sehangat ini, padahal hari-hari waktu itu selalu bersamanya. Bahkan ketika saya pamit pulang KKN dua tahun lalu, di pelabuhan Sangihe, ketika orang lain menangis dan menyalami kami satu persatu karena akan berpisah lama, dia sedikitpun tidak. Hanya tertawa dan tersenyum biasa.
Tapi pagi itu,
laki-laki kekar dan berperawakan keras itu, ternyata juga bisa menitikan air
mata bagi saya yang sebelumnya bukan siapa-siapanya. Saya yang hanya seorang
anak minang pedalaman merantau ke jawa,
kuliah di jogja dan pernah berkesempatan KKN di Sangihe.
“Pada titik
ini, saya menyadari kebersamaan dan kerinduan pada orang lain akan baru sangat terasa
apabila waktu pernah memisahkan kita untuk beberapa lama”.
Saya yang
masih kagok berusaha membalas kehangatan Om Shofie dengan menepuk bahunya “ Om
Apa Kabar? sehat-sehat ya? Ia masih mengusap matanya yang basah dan menjawab “Ia sehat.
Saya berusaha untuk tidak menitikan air mata.. Rindu sebenarnya tapi tak ingin di hari yang yang sudah ku nantikan selama dua tahun itu, ada dua orang yang menitikan air mata.
Saya berusaha untuk tidak menitikan air mata.. Rindu sebenarnya tapi tak ingin di hari yang yang sudah ku nantikan selama dua tahun itu, ada dua orang yang menitikan air mata.
Di belakang, Mas jajang hanya diam dengan sedikit tersenyum menyaksikan kami. Sebagai arkeolog senior yang telah kenyang dengan pengalaman penelitian ke pelosok Indonesia, saya yakin Mas Jajang merasakan apa yang om shofie dan saya rasakan. Apalagi dulu di kampus, Mas Jajang sering bercerita tentang kisah kedekatannya dengan Bapak angkatnya di Pulau Nias.
Pagi itu, sebelum kami berangkat ke penginaoan di Kota Tahuna, Mas Jajang sempat bertanya ke Om Shofie “sudah berapa lama Sultan tidak pulang ke Sangihe Bapak”?
![]() |
Foto bersama terakhir dengan Om Shofie 9 Mei 2017, di saat tim UMCE akan pulang |
Comments